"Terkadang, terlalu banyak yang terjadi hingga kita tak tahu apa yang sebenarnya diinginkan hati dan jawaban dari sebuah teka-teki."
^^^
Sejak pelajaran seni budaya tadi, Vina dan David jadi lebih sering mengobrol tentang gambar yang sedang mereka buat. Baik dari Tim Karikatur atau dari Tim Poster belum menyelesaikan tugasnya.
Menggambar memang sedikit mudah namun banyak memakan waktu apalagi jika gurunya sedikit rese seperti Pak Hendi yang banyak sekali curcolnya. Salah menggores warna saja matanya bisa menangkap dan mulutnya otomati akan menyemburkan beribu-ribu kata yang setajam silet.
"Kerkom rumah gue, kuy!" ajak Sveten dengan senyum lebarnya.
"Jangan mau ke rumah dia! Berantakan sama sempaknya dia!" sahut Ara dengan kencang hingga membuat hampir seisi kelas tertawa.
Steven mendelik tajam ke arah sepupunya itu. "Hih! Sok' tau lo, kampret!"
"Ih beneran. Lo tau gak sih ukurannya? Kecil banget! Sempit pasti tuh," lanjut Ara dengan seringaiannya.
Putri terbahak. "Sekecil apa ya?"
Steven menoyor kepala Putri. "Enggak usah dibayangin, anjir!" katanya dengan wajah memerah malu.
Ara menoyor Steven. "Itu anak orang jangan lo toyor bego!" katanya membela Putri.
"Dia kan anaknya bapak emaknya, Ara..." gemas Steven sambil membenarkan letak kaca mata yang membingkai mata sipitnya.
"Bodo amat setan!" ketus Ara.
Steven terkekeh. "Eh ayok, dong! Kerkom di rumah gue!!!" ajaknya yang terkesan memaksa.
"Emang pada mau di rumah lo? Rumah lo jauh. Kasian anak orang, duitnya abis. Mau ganti emang lo?" lagi-lagi Ara menyahut. Steven geram.
"KELOMPOK SIPIT GANTENG SEKARANG KERKOM DI RUMAH GUE! MAU GAK MAU HARUS MAU! SOAL TEBENGAN, VINA AJA!!!" teriak Steven dengan segala kekuatan suara besar yang ia punya.
"Gue sih, ayo."
"Gue ngikut."
"APA KATA LO SIPIT?! LO KIRA GUE TAKSI ONLINE?!
Itu suara Vina. Suara yang mengalun tepat setelah Nia dan Lia menjawab Steven. Mereka sih iya-iya saja orangnya. Memang begitu. Sedangkan Vina, perempuan dengan suara menggelegar itu justru kini memototinya.
Steven justru membalas pelototan itu dengan wajah tanpa dosa. "Biasa aja kali respon lo. Lo kan bawa mobil. Kelompok kita mau nebeng sama lo. Yaelah, sedekah bensin dikit ngapa,"
"Sedekah sih sedekah. Lo pikir gue gudang bensin apa? Rumah lo kan jauh!!!"
"Pake mobil lo biar deket. Atau lo pake skala aja biar keliatannya gak jauh-jauh amat!"
"Sipit!!!" geram Vina yang ingin sekali mematahkan kaca mata yang dipakai oleh Steven. Biar saja! Kesal dirinya.
"Kalo dia ke rumah lo, gue sama siapa nanti baliknya?"
Itu suara Putri.
Steven mendesah pelan. "Ya emang gue pikirin!" sahutnya cuek.
"Kok lo enggak mikirin sih?!" tanya Putri tak percaya.
"Emangnya lo siapanya gue sampe harus gue pikirin?"
Putri mendengus. "Ya iya juga sih!"
"Ya udah!" kata Steven datar namun nyolot. Mendengarnya Putri hanya bisa menyabarkan dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Beginning✔
Teen FictionCinta itu sederhana. Sesederhana hujan yang jatuh ke bumi tanpa harus berpikir tempatnya untuk jatuh. Sebab yang rumit itu bukan cintanya, tapi kitanya. Kita yang selalu memikirkan tentang cinta hingga lupa akan sebuah hal. Cinta itu bukan dipik...