“Kita ini apa? Rasa yang sudah semu atau cerita yang sudah berdebu?”
***
Jarum pendek dari sebuah jam tangan usang sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Meski begitu, Vina masih duduk termenung di taman sekolah yang mulai sepi karena malam akan segera menyapa.
120 missed calls.
50 messages.
“Aishhh,” desisnya kesal karena ponselnya terus bergetar.
Ia sengaja membiarkan sahabatnya pulang. Alasannya adalah ia hanya ingin tinggal sedikit lebih lama di sekolahnya ini. Entah, ia hanya ingin saja.
Bukan hanya membiarkan sahabatnya pulang. Ia juga membiarkan rintik hujan membasahi seragamnya. Lagi-lagi hujan.
Sedangkan di sisi lain, Vano tengah berjalan hendak pulang. Entah kenapa langkah kakinya menuntunnya untuk melewati taman terlebih dahulu.
“Lah?” Vano sedikit tersentak kala matanya menangkap bayangan perempuan.
“Itu siapa anjir jam segini belum balik?” gumamnya sambil terus melangkah.
Ia menilik-nilik bayangan itu hingga menjadi jelas. Terlebih lagi jam tangan yang dipakai perempuan itu membuatnya dengan mudah dapat mengenali siapa itu.
“VINA!”
“Lo ngapain masih di sini? Lo gak liat jam, hah?” Vano menatap tak percaya perempuan penyuka hujan itu. “Lo juga ngapain ujan-ujanan gini? Ish bandel banget sih!” gemasnya sambil menyampirkan jaketnya di tubuh Vina.
Vina tersenyum ketika jaket Vano terpasang di tubuhnya. Aromanya begitu khas dan ia... menyukainya.
“Lo ngapain sih senyam-senyum begitu?” bulu kuduk Vano meremang melihat Vina hanya tersenyum tanpa membalas ucapannya.
Vina menggeleng kemudian pandangannya mulai mengabur.
Seketika semuanya gelap.
***
“LO APAIN DIA HAH?!”
“VANO KOK VINA BISA PINGSAN SIH?!”
“LO GILA YA BIKIN VINA GINI?!”
“LO GAK NGAJAK VINA MAKAN?!”
“VAN—”
“BACOT LO SEMUA!” geram Vano setelah membaringkan Vina di atas tempat tidurnya kemudian menghela napasnya.
“Kenapa Vina bisa sampe ada di taman pas hujan? Kalian ke mana, sih?” gerutu Vano sambil memandangi satu per satu sahabat Vina yang kini tengah adu tatap padanya.
Putri mendelik. “Dia nyuruh kita berempat pulang, Van. Kita kira lo mau balik bareng ama dia!” gemasnya.
“Lah? Itu asumsi lo. Harusnya lo tuh nanya ke dia,” ujar Vano menyalahkan.
“Kok lo jadi nyalahin Putri, sih anjing?!” geram Ica menyela.
Rena melemparkan tatapan sinis untuk laki-laki berperawakan tinggi ini. “Kalo lo nyalahin Putri, sama aja lo juga nyalahin kita-kita juga!” tandasnya dengan tegas.
“Kalian tuh—” kalimat Vano terpotong saat suara lemah mengalun menyentuh telinganya.
“Di..dingin,” racau Vina dengan mata tertutup.
Vano menatap keempat sahabat Vina. “Mending kalian bantuin Vina buat ganti baju. Gue bakalan bikinin Vina susu sekaligus nyiapin air anget buat ngompres,” katanya kemudian berlalu meninggalkan kamar Vina.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Beginning✔
Teen FictionCinta itu sederhana. Sesederhana hujan yang jatuh ke bumi tanpa harus berpikir tempatnya untuk jatuh. Sebab yang rumit itu bukan cintanya, tapi kitanya. Kita yang selalu memikirkan tentang cinta hingga lupa akan sebuah hal. Cinta itu bukan dipik...