Tiga Puluh ; Sang Mawar

11.9K 2.2K 180
                                    


"Kau cukup pandai mengurus tanaman."

Chi menoleh. Ritsuka berdiri di belakangnya. Ratu dari Negeri Ame itu mengukir senyuman manis. Berjongkok di samping Chi, menatap beraneka macam bunga yang Chi tanam di pekarangan kediaman Takahiro.

"Terima kasih, Heika." Chi balas tersenyum. "Saya diajari oleh Takahiro-sama."

"Takahiro?"

"Ya." Chi mengangguk. "Takahiro-sama bersikap lebih baik pada tanaman dibanding pada manusia."

Ritsuka tertawa. Tapi mungkin yang Chi katakan ada benarnya. Takahiro bisa melakukan apapun. Dia begitu memukau dan menggoda. Ibarat sang mawar, cantik dan enak dilihat. Memiliki wangi menyengat. Namun jika disentuh sembarangan, durinya bisa menusuk dalam.

"Ahh, bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan Takahiro?" Ritsuka bertanya. Walau dia diperlakukan kasar, Ritsuka menganggap itu suatu hal yang wajar. Untuk seseorang yang sempurna layaknya sulung Eiji, merendahkan orang lain bukan suatu yang mengherankan. Jika tidak mau dipandang hina, artinya mereka harus sekasta.

Sayangnya, sampai saat ini belum ada orang yang bisa menempati kasta yang sama dengannya. Terkecuali adik-adiknya sendiri.

"Takahiro-sama selalu sendirian." Chi bercerita. Dia senang kalau ada orang lain yang menyukai tuannya juga. Karena selama ini Takahiro ditakuti, dia dijauhi. Tidak banyak manusia yang hidup dengan dua jiwa. Terlebih, jiwa lain di tubuh Takahiro mengaku sebagai Dewa. "Beliau selalu memposisikan diri sebagai orang yang tidak punya apa-apa."

"Benarkah?" Ritsuka tersenyum guyon. "Kupikir Takahiro justru bersikap seolah dunia adalah miliknya."

"Jika Takahiro-sama berpikir demikian, beliau tidak akan menderita. Justru karena Takahiro-sama merasa tidak memiliki apapun, beliau hanya bisa mempertahankan sesuatu yang memang boleh dijangkau kedua tangannya. Bahkan, sekarang Takahiro-sama pun mulai mengalah. Untuk kebahagiaan Kou Heika, untuk Fuyumi-Hime, dan saya."

Chi memberi jeda, dia mengambil setangkai mawar merah. Menciumnya beberapa detik, "Kalau dunia memang miliknya, tidak akan ada sesuatu yang beliau hancurkan. Karena dunia tidak dianggap berharga, Takahiro-sama tidak segan merusak."

"Kenapa dia berpikir seperti itu?"

Chi diam lagi. Dia tersenyum sendu, "Karena ditinggalkan itu menyakitkan."

Ritsuka benar-benar tidak paham.

"Karena Takahiro-sama selalu merasa tertinggal. Beliau merasa berbeda. Beliau berpikir, kalau dirinya bukan lagi manusia. Karena tidak ada manusia seperti Takahiro-sama. Tidak ada yang bisa menyamainya." Chi menoleh kemudian nyengir lebar, "itu sebabnya saya selalu berusaha."

Ritsuka dan Chinatsu berdiri.

Chi mengepalkan kedua tangan, "Saya akan menjangkau Takahiro-sama dan dengan tegas berkata padanya, saya pasti selalu menerima Takahiro-sama apa adanya. Entah itu sisi buruknya, atau pun jiwa lain yang bersemayam di dalam tubuhnya."

Angin berhembus kencang. Menerpa membawa debu menghalau pandang. Sesaat, Ritsuka menutup mata, dua pelayan melindunginya, menghadang angin agar tidak melukai ratu mereka. Semerbak aroma bunga mendominasi udara. Kelopak bunga terbawa sang bayu menari menuju angkasa.

Pelan-pelan Ritsuka membuka mata. Chi tetap berdiri di tempatnya semula. Dia justru mendongak, seolah menantang langit. Senyumannya tidak juga memudar. Manik kelam itu bersinar, menunjukkan tekad yang tidak surut. Cinta tidak terbatas, kesetiaan beserta pengorbanan yang konstan.

Yami No TenshiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang