Sebelas ; Musuh Yang Tidak Terlihat (1)

15.6K 2.5K 268
                                    


1538 Word (Bonus update 14/01/2017)

***

"Fukuo, diamlah. Kalau kau jatuh, ibumu akan memarahiku." Kou berdecak. Bayi dalam gendongannya tetap tidak mau berhenti bergerak. Menjambaki rambut sang ayah, kemudian mengulumnya lalu tersedak. Kou menghela napas, pekerjaannya tidak akan selesai kalau Fukuo tetap saja mengganggu.

Kou menepuki punggung puteranya pelan. Fukuo menangis, lalu tertawa saat Kou memelototinya dengan manik peraknya. Puteranya tidak takut dengan mata yang dianggap dikutuk. Fukuo justru menyukainya, selalu ingin meraih mata sang ayah dengan jari-jari yang mungil.

"Joō-sama-"

"Dia sedang bergosip." Kou menutup pertanyaan Ryuu. Sejak Takahiro meninggalkan istana, Mitsuki selalu memerintah Kou untuk mengurus putera mereka. Membuat Raja Kerajaan Langit terbiasa. Kou menatap Ryuu lekat, ada sesuatu yang ingin dia tanyakan, tapi takut jawaban yang Ryuu berikan justru mengecewakan.

"Heika, Takahiro-Kakka, mengirimkan surat balasan untuk anda." Ryuu tersenyum kecil. Membuat Kou terpaku, lalu menatapnya lekat.

"Takahiro, untukku juga?"

"Haii." Ryuu mengangguk. Dia menyerahkan selembar kertas di atas meja sang raja. Membuat Kou tersenyum lebar. Sudah lama sekali Ryuu tidak melihat Kou yang sebahagia ini. Bukan hanya adik-adiknya untuk si sulung saja, tapi sulung Eiji pun amat berharga di mata para adiknya. Kou masih cukup terkekang dengan pernyataan Takahiro sebelum pergi dari istana.

"Di mataku~ kau sudah bukan adikku lagi."

Menyakitkan sekali. Sampai detik ini kalimat itu terus menyiksa Kou sampai selalu menjadi mimpi buruk setiap kali dia terlelap. Setelah nyaris dua bulan, akhirnya Takahiro mau membalas suratnya.

"Fukuo, kita mendapat surat balasan dari pamanmu." Kou mengecupi pipi gembil puteranya. Cepat-cepat dia membuka surat itu, sedikit kecewa karena balasannya singkat dan hanya satu kalimat. Kou menggeleng, setidaknya ini sudah lebih baik daripada tidak dibalas sama sekali.

Sedetik kemudian Kou terbahak-bahak. Walau singkat, tapi dia bisa merasakan kalau Takahiro sudah tidak menyimpan kemarahan untuknya.

Lain kali, panggil aku Onii-chan.

***

Menghabiskan waktu yang cukup lama sampai akhirnya mereka sampai di depan hutan Ao. Seperti gosip yang selama ini beredar, kabut biru nyaris menutupi seluruh hutan. Salah satu tempat paling aneh, dikenal sebagai hutan kematian karena banyaknya yang tak kembali kalau masuk tanpa seseorang yang benar-benar mengenal jalan.

"Tsukumi, berapa lama waktu yang harus ditempuh untuk sampai ke ujung lainnya?" Takahiro bertanya.

Tsukumi tersenyum dan menjawab, "Setengah hari, Takahiro-sama." Jeda, "Tapi sebaiknya kita tidak memasuki hutan sekarang. Lebih baik ditunda besok saja."

Orang-orang menoleh padanya. Termasuk Yumi yang juga tidak tahu apapun walau sudah pernah melewati hutan ini.

Tsukumi mengulurkan tangan kanan, dan terpejam, "Malam ini akan purnama. Di hutan Ao, sebenarnya memiliki penduduk lokal masih melakukan beberapa ritual yang menumbalkan gadis di bawah lima belas tahun setiap bulannya setiap purnama. Mereka disebut sebagai Suku Tanpa Nama. Karena itu, kebanyakan gadis yang tinggal di dekat hutan ini, setiap malam purnama akan disembunyikan dan dijaga ketat para penduduk.

"Tangisan, jeritan, dan penderitaan mereka yang dibunuh keji membuat hutan ini dinaungi aura yang mengerikan. Hantu yang bergentayangan jumlahnya tidak sedikit. Percaya kah anda, seberusaha apapun para penduduk di sekitar sini melindungi anak gadis mereka, satu-persatu pasti tiada? Karena yang mereka lawan tidak terlihat, suku tanpa nama, sering juga disebut sebagai hantu."

Yami No TenshiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang