Chapter 42

855 52 0
                                    

Fani turun dari mobilnya dan naik ke atas jembatan itu seolah akan lompat ke sungai di bawahnya.

Vanya yang melihat hal itu tentu saja langsung bergegas turun dari mobil dan menghampiri Fani.
"Lo jangan mendekat!", ucap Fani pada Vanya.
Vanya menghentikan langkahnya.
Vanya : "Fani! Lo mau ngapain? Ntar lo jatuh. Lo gila ya?"
Fani justru tertawa kemudian.
Fani : "Hahaha. Justru ini tujuan gue bawa lo kesini."
Vanya : "Maksud lo apa sih?"
Fani : "Lo suka kan sama Malvin?"
Vanya dibuat kaget oleh pertanyaan Fani. Sungguh ia sama sekali tak mengerti mengapa Fani bisa berpikiran seperti itu.
Vanya : "Gue itu gak ada apa-apa sama Malvin."
Fani : "Halah lo gak usah mengelak."
Vanya semakin kebingungan.
"Apa yang harus gue perbuat?", pikir Vanya.
Fani : "Sekarang gue minta lo telpon Malvin. Lo bilang kalau lo bakal ceburin gue ke sungai ini kalau dia gak dateng sekarang."
Vanya : "Apa? Fani! Lo bener-bener gila ya! Enggak. Gue gak mau lakuin itu."
"Cepet lakuin itu atau gue bakal nyebur beneran dari sungai ini dan lo bakal nyesel seumur hidup lo!", geretak Fani.
Vanya : "Fan, lo...lo bener-bener gak punya otak ya?"
Fani pun semakin kesal pada Vanya yang tak kunjung menuruti permintaannya.
Tak sengaja kakinya tergelincir dari besi jembatan yang ia pijak dan membuatnya hilang keseimbangan. Vanya melihat Fani akan terjatuh ke sungai itu.
"Aaaa!", teriak Fani yang akhirnya terjatuh.
Hap. Dengan sigap Vanya berlari dan langsung memegangi kedua tangan Fani dan mencoba menariknya kembali ke atas agar Fani tak terjatuh.
"Fan! Pegang yang kuat!", teriak Vanya.
Fani yang tidak berniat untuk menjatuhkan diri pun panik dan sangat ketakutan. Ia memegangi tangan Vanya erat karena tak ingin terjatuh.
Perlahan-lahan Vanya terus mencoba menarik Fani agar kembali bersamanya.
"Lo pegangin terus Fan!", teriak Vanya.
Vanya menarik tangan Fani dengan sekuat tenaga. Sampai akhirnya Fani kembali ke jalanan dan selamat dari jatuhnya tadi.
Fani masih menunjukkan wajah paniknya.
"Lo gila ya!", bentak Vanya pada Fani.
"Iya gue emang gila.", jawab Fani santai.

Kemudian Fani tersenyum menatap Vanya dan mendorong tubuh Vanya ke arah sungai itu. Vanya terjatuh.
"Aaaa!", Vanya berteriak karena di dorong oleh Fani. Beruntung Vanya berhasil menggapai besi jembatan itu sehingga Vanya masih menggantung memegang jembatannya.
"Tolong! Fani tolongin gue!", teriak Vanya.
Fani justru hanya tertawa melihat Vanya yang sedang membutuhkan pertolongan itu.
Fani : "Hahaha. Lo usaha aja sendiri."
Namun sesaat kemudian Fani kaget. Ia melongo melihat seseorang berlari ke arah Vanya dan berusaha meraih tangannya.
"Devin.", ucap Vanya melihat orang yang kini memegangi tangannya dari atas jembatan itu.
Devin : "Lo pegang kuat-kuat Van."
Vanya memegangi tangan Devin sekuat tenaga. Devin pun berusaha keras menariknya agar kembali ke atas.
Akhirnya Devin berhasil membawa Vanya kembali naik.
"Thanks Dev. Lo udah selametin nyawa gue.", ujar Vanya yang masih terengah-engah.
Fani menatap Vanya dan Devin dengan panik.
"Mereka bisa laporin gue ke polisi gara-gara ini. Gue harus pergi dari sini.", Fani melangkahkan kakinya mundur dan bermaksud berlari meninggalkan Vanya dan Devin disana.
Namun

"TIIIINN!!!", suara klakson mobil terdengar begitu keras dan,
"BRUKKK!!!"
"Fani!", teriak Vanya.
Fani tertabrak oleh sebuah mobil. Devin dan Vanya pun bergegas untuk menyelamatkan Fani.
"Fan. Fan.", ucap Vanya panik melihat Fani yang tak sadarkan diri.
Devin : "Kita bawa dia ke rumah sakit sekarang."
Kemudian Vanya dan Devin membawa Fani ke rumah sakit.
***

Selama perjalanan Vanya tampak shock setelah melihat Fani tertabrak mobil di depan matanya sendiri.
"Lo yang tenang Van.", ucap Devin sambil menyetir mobil milik Fani.
Vanya hanya mengangguk pelan.
Vanya : "Dev, lo kayaknya udah berapa hari ini kok gak keliatan di kampus?"
Devin tak menjawab. Ia memang tak mau menjawab pertanyaan itu.
"Devin kenapa?", pikir Vanya.
Vanya : "Mmm...ya udah...btw sekali lagi thanks ya. Kalau gak ada lo tadi, gue gak ngerti lagi nasib gue bakal kayak gimana. Padahal selama ini gue udah sering gangguin lo. Tapi ternyata lo tetep mau tolongin gue."
"Iya Van.", jawab Devin singkat.

***
"Kondisi Bastian sudah mulai membaik. Sekarang dia hanya butuh istirahat total saja. Jangan biarkan dia banyak pikiran dulu ya.", ujar dokter yang memberitahukan kondisi Bastian pada Ruth dan Key.
Key : "Baik dok. Terima kasih banyak."
Setelah mendengar kabar dari dokter kemudian Key dan Ruth masuk ke dalam ruang inap Bastian.
Bastian masih terbaring disana menatap jam dinding yang terus berdetak.
"Bas, lo makan ya?", ujar Ruth sambil mengambil semangkuk bubur yang sudah tersedia disana.
Kemudian Ruth menyuapi Bastian.
Key : "Bas, lo harus makan yang banyak. Biar sehat lagi."
Bastian hanya mengangguk pelan.
Bastian : "Thanks ya. Kalian udah mau rawat gue."
Ruth tersenyum simpul sambil terus menyuapi Bastian.
Bastian : "Zalfa gimana?"
Key : "Bas, sekarang lo istirahat total dulu. Zalfa di ruang sebelah sama Ridwan. Lo boleh kesana kalau lo udah bener-bener sehat. Makanya sekarang lo harus sehatin diri lo dulu ya."
Bastian mencoba mengerti akan hal itu.
Key : "Mmm. Bas, Ruth, gue ke kamar Zalfa dulu ya."
Kemudian Key pergi meninggalkan Bastian berdua bersama Ruth.
Bastian : "Ruth."
Ruth kemudian menatap Bastian yang memanggilnya.
Bastian : "Makasih banyak ya."
Ruth menghela nafas.
Ruth : "Iya Bas. Lo cepet sembuh ya."

***
Saat Key membuka pintu ruang inap Zalfa, ia melihat Ridwan sedang tertidur di samping Zalfa sambil tetap menggenggam tangan Zalfa.
Key mendekat ke arah mereka.
"Zal, lo beruntung punya Ridwan.", ucap Key dalam hati.
Tak lama kemudian Ridwan terbangun.
"Eh Key. Lo udah lama disini?", ujar Ridwan sambil mengucek-ucek matanya.
Key : "Barusan kok gue masuk."
Ridwan : "Oh kirain udah dari tadi hehe. Sorry gue ketiduran."
Key : "Iya gakpapa. Gue ngerti kok lo pasti capek. Oh iya Rid, Bastian udah sadar."
Ridwan terhentak mendengar kabar dari Key.
"Bastian udah sadar? Sedangkan Zalfa masih koma kayak gini? Ini gak adil.", batin Ridwan.
"Rid?", Key menyadari bahwa Ridwan pasti memikirkan sesuatu.
Ridwan : "Eh...mmm. Syukurlah Key kalau dia udah sadar."
Ridwan kemudian menatap Zalfa yang masih terbaring lemah.

"Harusnya lo yang sadar Zal. Bukan Bastian.", ucap Ridwan dalam hati.

The Colours Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang