Chapter 6 (The Signal)

507 12 4
                                    

Chapter VI: The Signal.

Gedung NewsTV
13.12 WIB
H minus 94:48:00.

Laksdya Sihombing, Pak David, dan Prita memapah Anton menuju ke ruangannya di lantai 2. Walaupun sudah berpangkat Laksamana Madya, tapi demi persahabatan, Laksdya Sihombing merasa perlu untuk membantu Anton melalui saat menyedihkan ini. Anton seperti orang linglung saja dan ia terus menerus menangis, sementara Prita tak henti-hentinya menenangkan Anton, meskipun airmatanya sendiri tidak berhenti mengalir.

Kejadian itu sontak membuat lantai 2 gempar dan penasaran. Beberapa di antara mereka adalah para anchor dari program News Today, juga di bawah Anton, yaitu Fitri, Mutia, dan Tisna. Dengan segera mereka meninggalkan pekerjaannya dan ikut menyongsong Anton.

“Anton kenapa, Prit??” tanya Mutia sambil memegangi Anton.
“Lucia… dia…” kata Prita tak kuasa meneruskan perkataannya.

Berita mengenai kematian Lucia memang belum tersebar. Meskipun begitu, Mutia bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi. Anton adalah sosok yang cukup dingin, dan seumur hidup, baru sekali saja Mutia melihat Anton bersedih seperti itu, yaitu ketika istrinya yang terdahulu, Wina, meninggal dunia. Mutia pun terdiam sambil menunduk dan tidak meneruskan pertanyaannya. Aura kesedihan dengan cepat menjalar dan Mutia pun menitikkan airmata pula. Fitri juga begitu, karena sejak sebelum menikah dengan Anton, Lucia adalah teman karibnya semasa mereka masih sebagai reporter.

Tita tentu saja amat terkejut melihat keadaan Anton ketika kembali ke ruangannya. Buru-buru ia membereskan barang-barang, dan memandu supaya Anton diletakkan di sebuah bangku panjang yang memang ada di ruangan itu. Anton terus saja menangis, dan setelah didudukkan, ia memeluk Prita erat-erat, yang tentu saja Prita langsung menyambut untuk menenangkannya.

Mutia duduk di sebelah Anton dan membelai pundak Anton, sementara Fitri berjongkok di hadapan Anton, pun Tita juga ikut mengitarinya. Kejadian itu membuat semua orang (yang peduli) menuju ke ruangan Anton, terutama adalah reporter-reporter yang bekerja di bawah Anton.

“Anton… Anton…” kata Mutia, “kamu tenang ya, sabar…”
“Tidak…tidak…tidak…” kata Anton sambil terisak di pelukan Prita.
“Mbak Prita, ada apa, sih?” tanya Tita, yang memang belum mengetahui duduk permasalahannya.
“Ada berita dari Laksdya Sihombing, katanya kapal selam KRI Antasena mengalami insiden di Samudera Indonesia, dan dikhawatirkan…” kata Prita, “…semua awaknya tidak ada yang selamat, termasuk Lucia,”
“Ya Tuhan!” pekik Fitri.

Fitri, Mutia, dan Tita pun lalu ikut memegang Anton untuk menenangkannya. Mereka memang bisa menebak bahwa sesuatu yang amat buruk telah terjadi pada Lucia, tapi mereka baru tahu kejadian sebenarnya seperti apa.

“Lucia… meninggal?” tanya Fitri kosong.
“TIDAAAK!!!” jerit Anton kembali menangis.

Mulut Fitri terkatup, dan Prita pun memberi isyarat supaya Fitri tidak meneruskan kata-katanya lagi. Andini dan beberapa reporter lainnya yang juga sudah hadir di sana pun tidak kalah terkejutnya, dan mereka seolah tak percaya bahwa salah seorang rekan mereka sudah meninggal. Mutia akhirnya ikut memeluk Anton dan menangis. Laksdya Sihombing dan Pak David pun agak menjauh dari sana. Keadaan sudah menjadi amat emosionil, dan mereka tak ingin kesedihan mereka turut terlihat.

Bu Sabrina pun akhirnya menyeruak keramaian itu. Tidak ada tampang angker dari Bu Sabrina seperti biasa. Bahkan bagi orang sekeras dan sedingin Bu Sabrina sekalipun, kehilangan seorang reporter masih juga adalah sesuatu hal yang sulit untuk diterima. Bu Sabrina melihat ke arah Fitri, dan memberi isyarat supaya Fitri mendekatinya. Fitri pun menghapus airmatanya dan menghampiri Bu Sabrina.

“Ada apa?” tanya Fitri, masih agak sesenggukan.

Bu Sabrina lalu membawa Fitri agak menjauh, Laksdya Sihombing pun ikut pula bersama mereka, dan mereka bertiga segera bercakap-cakap dengan lirih sekali.

LAUT BIRU (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang