Epilogue 2

356 8 0
                                    

Epilogue 2: Al McKenna

Sayap Barat Gedung Putih
Washington DC, Amerika Serikat
11.20 EST
2 Hari Setelah Ending

Kepala Staf Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, Jend. Albert “Al” McKenna berjalan menuju ke Ruang Oval di Gedung Putih. Suasana sepanjang Sayap Barat relatif tak terlalu hectic bila dibandingkan beberapa hari lalu. Ya, ketegangan antara Indonesia dan Australia kini telah mereda, dan dengan begitu berkuranglah kekhawatiran akan meletusnya peperangan baru di Asia Pasifik, hal yang selama ini coba dihindari oleh baik Pentagon maupun Gedung Putih, sekalipun pasukan ekspedisi Amerika Serikat untuk saat ini masih merupakan salah satu pasukan ekspedisi terbesar, terkuat, dan terlengkap di dunia. Bahkan Al McKenna berani menjamin bila terjadi titik perang di Pasifik melawan Cina dan Russia sekaligus, Amerika Serikat masih bisa mengimbanginya, meski tentu saja perang bukanlah hal yang paling dia harapkan.

Saat itu, para penasihat, staff ahli, dan bahkan beberapa menteri baru saja keluar dari Ruang Oval setelah memberikan laporan kepada Presiden Clarke. Tidak, bukan Al McKenna terlambat, melainkan Pres. Clarke sendiri yang meminta supaya Al McKenna datang pada jam ini, setelah semua orang memberikan laporannya, karena ada beberapa hal yang ingin didengar oleh Pres. Clarke “tanpa kehadiran yang lain”. Oleh karena itu, maka Al McKenna baru masuk ke dalam ruangan setelah yakin bahwa semua orang sudah selesai dengan urusannya.

“Masuklah, Al,” kata Pres. Clarke melihat Al McKenna mulai masuk.

Tanpa canggung, Al McKenna pun masuk ke dalam Ruang Oval, di mana Pres. Clarke masih berada di balik meja kerjanya sambil membolak-balik berkas berisi laporan-laporan yang baru saja diterimanya. Dengan isyarat matanya, dia mempersilakan Al McKenna untuk duduk pada bangku di seberang meja kerjanya.

“Sudah tidur lebih nyenyak tadi malam, Al?” tanya Pres. Clarke berbasa-basi.
“Lebih baik daripada sebelumnya, Pak Presiden,” kata Al McKenna, “tapi tentu aku tak dipanggil hanya untuk menanyakan itu, bukan?”
“Tentu saja tidak,” kata Pres. Clarke.

Pres. Clarke meletakkan berkas yang baru dia baca di atas meja kerjanya, kemudian dia berdiri, dan berjalan dengan angkuh dan berwibawa bak seorang bangsawan. Darah Hohenzollern yang mengalir di dalam tubuhnya seolah tak membiarkan segala tindak-tanduk Pres. Clarke berjalan tanpa menyiratkan keningratan.

“Siang nanti, Speaker of The House memintaku datang ke Capitol, ada hal yang harus dibicarakan dengan House dan Senat, terutama mengenai meningkatnya pengaruh Cina di Pasifik,” kata Pres. Clarke, “mereka khawatir bahwa suatu hari nanti Cina akan tumbuh menjadi amat besar sehingga tak mampu lagi kita bendung,”
“Bukankah memang begitu, Pak Presiden?” tanya Al McKenna, “jujur saja, peningkatan militer Cina bagi Pentagon sudah amat mengkhawatirkan,”
“Oleh karena itu, walau Perang Dingin sudah lama berakhir, aku ingin kita menerapkan kembali strategi pertahanan kita saat Perang Dingin,” kata Pres. Clarke, “untuk membatasi pergerakan Cina,”
“Ya, tapi itu menjadikan poros utara kita sebagai titik kritis,” kata Al McKenna, “kita hanya akan bergantung pada Jepang dan Korea Selatan untuk membendung serangan bila Cina memutuskan untuk membuka perang di Utara, sementara Cina bisa menggerakkan Korea Utara, dan besar kemungkinan Russia akan turut berperang membela Cina; kudengar Armada Pasifik Russia mendapat tambahan kekuatan baru,”
“Ya, Russia kini menjadi perhatian lagi, memang benar,” kata Pres. Clarke, “tapi aku justru takut Cina akan melewati jalur selatan,”
“Selatan?” tanya Al McKenna.
“Polanya samar tapi teratur, berkali-kali Cina melakukan provokasi atas Laut Cina Selatan, dan ditambah ring kita di selatan tak sekuat di utara,” kata Pres. Clarke, “utara memang jalur terpendek, Al, tapi justru selatan yang kukhawatirkan untuk saat ini,”

Al McKenna hening sejenak, berusaha menerka ke mana arah pembicaraan dari Pres. Clarke.

“Ada hubungannya dengan insiden antara Indonesia dengan Australia baru-baru ini?” tanya Al McKenna.
“Tepat, pintar sekali,” kata Pres. Clarke.
“Aku justru melihat kemampuan Indonesia dalam melengkapi dirinya dengan alutsista tercanggih cukup mengkhawatirkan dan berbahaya,” kata Al McKenna, “Indonesia akan menjadi potensi ancaman terbesar menyusul Cina,”
“Aku tak akan berpendapat begitu, Al, mengkhawatirkan memang, tapi berbahaya tidak,” kata Pres. Clarke.
“Maukah Anda menjelaskannya, Tuan Presiden?” tanya Al McKenna tak mengerti.
“Katakan saja, ada kesepahaman pandangan antara aku dengan dua presiden Indonesia yang terakhir,” kata Pres. Clarke, “baik antara Tuan Zakaria atau Tuan Chaidir, aku tak menganggap mereka sebagai ancaman meskipun mereka sering bersikap keras,”
“Aku tak menganggap kesamaan pandangan semata bisa membuat mereka tidak berbahaya,” kata Al McKenna.
“Dan itulah, Al, seni dari sebuah politik, apa yang di atas kertas maupun di lapangan mustahil, bisa kita wujudkan dalam politik,” kata Pres. Clarke.

LAUT BIRU (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang