Chapter 17 (The Siren)

495 13 0
                                    

Chapter XVII: The Siren

Samudera Indonesia
Kedalaman 200 meter
11.13 WIB
H minus 23:46:00

Lucia tersadar saat dia merasakan kerasnya lantai baja pada pipinya. Dia berada dalam posisi tertelungkup akibat ledakan yang terjadi belum lama, dan butuh beberapa waktu sebelum matanya mulai terbiasa dengan kegelapan yang menyeruak kemudian. Sesaat Lucia merasakan deja vu seperti ketika kejadian beberapa hari yang lalu, saat kapal KRI Antasena diserang musuh untuk pertama kalinya. Gelap gulita, dan nyaris tak ada yang memandunya.

Lucia menggerakkan tangannya yang terasa nyeri bukan kepalang, belum ditambah kepalanya yang sakit dengan amat hebat, hingga Lucia merasa semua aspirin di dunia tak akan sanggup meredakannya. Dia terbatuk, kesulitan bernapas akibat rambutnya sendiri terdorong ke depan dan sebagian masuk ke dalam mulut dan membuatnya tersedak. Udara yang sudah sesak semakin menyesakkan karena ada asap halus yang memenuhi bawah lantai, hanya setinggi 15 cm saja dari lantai.

Perlahan-lahan, Lucia pun menggerakkan tangannya yang masih gemetaran, seolah baru saja diguncang kekuatan yang amat besar. Telapak tangannya menapak ke sebuah pegangan yang bisa diraihnya, dan saat Lucia menggenggam pegangan itupun, tangannya berguncang hebat, seolah tak ada lagi kekuatan yang tersisa di tangan itu. Guncangan pada tangan itu semakin hebat ketika Lucia mulai menumpukan dan menarik tubuhnya pada tangan itu. Bahkan untuk memegang saja sudah amat sulit, apalagi untuk menarik tubuh, Lucia merasa tak ada lagi tulang yang tersisa pada tangan itu. Bagaimanapun, dia harus memaksakan diri, karena kalau dia tak segera berdiri, dia bisa saja mati akibat keracunan asap yang menggenang di lantai.

Ketakutan akan kematian membuat Lucia memompakan semua tenaganya yang tersisa ke dalam tangan yang kini sudah menapak itu. Pelan-pelan, guncangan pada tangan pun berhenti dan akhirnya tubuhnya sedikit demi sedikit mulai bergetar dan bergeser. Sekujur tubuhnya terasa amat sakit, dan di beberapa titik tertentu nyerinya tak tertahankan. Saat ini hanya tangan dan kepala saja yang oleh Lucia rasakan bisa bergerak, entah dengan bagian tubuh yang lain. Lucia merasa seolah dia berada di dunia ini sendirian, semuanya gelap kecuali beberapa kilatan-kilatan cahaya, juga sunyi, hanya sayup-sayup suara yang tidak jelas.

Dengan susah payah, akhirnya dia bisa menarik kepala dan tubuh bagian atasnya untuk menjauh dari genangan asap itu. Tapi dia masih belum selamat, karena belum bisa menegakkan tubuhnya, dan hanya bersandar pada tangan yang masih rapuh, dan kini semakin berguncang hebat. Baru saja Lucia hendak menyerah, sebuah tangan lain mendadak terasa mencengkeram bahu Lucia dan menariknya, dan saat itulah dia serasa direnggut dari dunia kesepian yang sejak tadi menderanya.

Cahaya putih menyilaukan menerpa wajahnya, dan sesosok wajah di balik cahaya itu berkali-kali memanggil namanya. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya Lucia menyadari bahwa cahaya putih itu bukan cahaya akhirat, melainkan cahaya senter putih yang dipakai sebagai penerangan darurat di kapal selam. Secepat kilat kesadarannya kembali dan Lucia merasakan tenaganya seolah dikembalikan ke masing-masing bagian tubuhnya, membuatnya bisa bergerak, satu hal yang beberapa saat lalu belum bisa dilakukannya dengan benar. Kenyataan pahit pun kembali menyeruak, bahwa dia masih terjebak di kapal selam ini, dan kali ini Lucia merasakan keadaannya lebih parah daripada sebelumnya.

“Kau sudah sadar, Nn. Lucia?” tanya Laksma. Mahan, wajah yang tadi Lucia lihat dari balik cahaya.
“Ya, apa yang terjadi?” tanya Lucia, “kenapa gelap sekali?”

Keadaan kapal selam sekarang memang jauh berbeda dengan yang terakhir kali Lucia ingat. Udara kini semakin pengap, dan lampu pun tak menyala, bahkan lampu pada panel. Lampu darurat pun tak menyala juga, sehingga satu-satunya penerangan hanyalah berasal dari senter-senter para kelasi.

“Si pengkhianat busuk itu,” kata Laksma. Mahan sambil menunjuk mayat Ridwan Juhari yang kini berada dalam kondisi mengenaskan, “dia memasang bom di dalam kapal ini, dan meledak sebelum sempat kuhentikan; sekarang semua cadangan listrik mendadak mati, dan seorang awak sedang mencoba mencari tahu apa yang rusak,”
“Bom??” tanya Lucia, “tapi bukankah kalau bom itu maka...”
“Tenanglah, kemungkinan besar itu hanya peledak low-explosive yang jumlahnya tidak terlalu banyak, mungkin dia hanya bisa menyelundupkan sejumlah kecil itu ke kapal ini,” kata Laksma. Mahan, “tapi di mana dia memasang bom-nya, aku tak bisa perkirakan; karena bom itu terlalu kecil untuk bisa membuat kerusakan serius,”
“Tapi sepertinya yang ini walau kecil bisa membuat kerusakan serius, Laksamana,” kata Lucia.

LAUT BIRU (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang