Chapter 18 (The Solution)

785 13 0
                                    

Chapter XVIII: The Solution

Samudera Indonesia
200 meter kedalaman
13.24 WIB
H minus 21:25:00

Lucia jatuh terduduk dan bersimpuh, lunglai seolah tak ada daya. Alat mikrofon yang tadi dia pakai untuk menyalakan sonar pun terjatuh berkelontangan di lantai begitu saja. Menyanyi, yang di dunia luar biasa dia lakukan seperti biasa, kini bahkan setelah mengulang beberapa kali dia sudah merasa kehabisan daya. Tenggorokannya kini terasa amat kering bagaikan gurun pasir, sebuah perasaan tidak enak pun melanda, semacam rasa panas yang mulai tak tertahankan, dan rasa haus yang seolah tak akan terpuaskan.

Dia mencoba mengibaskan tangan di depan mukanya, sekedar membuat angin untuk mendinginkan kepalanya, tapi satu-satunya angin yang terbentuk adalah angin yang juga cukup panas yang membuat semua ini semakin parah. Dalam situasi gerah luar biasa ini, Lucia membuka dua kancing teratas di bajunya, memperlihatkan dada bagian atasnya yang putih bagai pualam, mengkilat akibat keringat, dan sebagian kecil behanya. Di keadaan normal, dia tak akan melakukan hal ini, apalagi ruangan ini penuh dengan pria. Tapi keadaan sudah menjadi tak tertahankan.

Bukan Lucia saja yang akhirnya hanya bisa terduduk tak berdaya. Semua orang pun seolah sudah mulai kehabisan energi terakhir mereka. Laksma. Mahan bahkan sudah dari tadi terduduk di lantai, bersandar pada panel yang rusak, lemas tanpa daya, hanya bisa tersenyum miris kepada Lucia. Ya, udara di dalam kapal ini sudah semakin menipis, hanya tersisa untuk beberapa jam saja, kurang dari sehari semalam. Bahkan diperkirakan semua orang di sini akan mati kehabisan napas sebelum udaranya benar-benar habis.

Lucia menatap ke arah Laksma. Mahan dengan pandangan mata sayu, secercah harapan yang tadi memuncak dan membuatnya mampu menyanyi untuk menyalakan sonar kini kembali meredup. Ya, tipisnya udara pun akhirnya mulai tak bisa dilawan oleh hati yang terkuat sekalipun.

"Sekarang bagaimana?" tanya Lucia dengan suara yang walau lirih tapi masih bisa terdengar oleh Laksma. Mahan.
"Kita menunggu," kata Laksma. Mahan gontai, "tak ada lagi yang bisa kita lakukan; semua yang harus kita lakukan sudah kita lakukan, dan dengan usaha terbaik, juga pengorbanan terbesar,"

Lucia mengangguk kecil. Saat-saat berusaha memang sudah berlalu, dan saat-saat menunggu yang menjemukan pun dimulai. Entah mereka akan menunggu pertolongan, atau malah kematian yang akan datang menjemput. Yang mana yang akan datang terlebih dahulu, kini sudah tak ada bedanya.

"Suamiku sudah datang," kata Lucia, "di atas sana,"
"Ya, pangeranmu, ksatria-mu dalam baju baja," kata Laksma. Mahan, "dia pria yang baik, dan pastinya amat mencintaimu; jarang yang mau datang jauh-jauh menempuh semua prosedur hanya untuk menjemput istrinya yang nasibnya masih terkatung-katung,"
"Aku hanya takut, saat dia benar-benar datang nanti, aku sudah tak lagi ada di sini untuk menyambut tangannya," kata Lucia dengan nestapa, "bahwa hanya mayat dingin yang nanti akan dia temukan, alih-alih hati yang hangat,"
"Jangan bilang begitu," kata Laksma. Mahan, "bila dia sudah sampai di sini, dia pasti akan menemukanmu tepat pada waktunya; ingat, sinyal darinyalah yang menghidupkan semua harapan yang tadinya hampir sirna,"

Lucia pun tersenyum saja. Sebuah senyuman yang mungkin akan menjadi yang terakhir.

"Lagi pula, aku tak akan membiarkan kita mati kehabisan napas," kata Laksma. Mahan sambil menunjukkan tombol merah yang ada dalam jangkauan tangannya.

Itu adalah tombol untuk menghancurkan kapal selam ini. Cara mati yang dianggap lebih manusiawi daripada mati kehabisan napas. Tapi bagi Lucia, mati adalah mati. Cara mati yang bagaimanapun tak akan mengubah keadaan.

Sementara jauh di atas mereka, KRI Ternate mulai memasuki wilayah Australia, di bawah pengawasan dari Armada Australia yang setiap saat bisa menembaki mereka. Detik demi detik saat lunas kapal mulai melanggar garis perbatasan menjadi saat yang paling menegangkan bagi semua awaknya. Dalam strategi Kapt. Kadek, memang hanya KRI Ternate saja yang akan memasuki wilayah Australia atas dasar dua pertimbangan. Pertama, KRI Ternate bukan kapal kombatan, yang hanya memiliki senjata berupa meriam 6 inci dan roket artileri. Walau pada jarak ini kedua senjata itu sama berbahayanya, tapi tanpa rudal antikapal, jelas akan membuat Armada Australia sedikit lebih tenang.

LAUT BIRU (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang