Epilogue 4

389 10 0
                                    

Epilogue IV: Arfa

Situation Room
Bina Graha, Jakarta
19.57 WIB
10 Hari Setelah Ending

Tak seperti biasa, hari ini rapat terbatas diadakan cukup mendadak, tanpa pemberitahuan sebelumnya, setidaknya bagi Arfa, karena dia melihat Hafryn Rahman, yang juga diundang dalam rapat itu datang dengan tanpa beban dan muka siap. Ataukah hanya dia satu-satunya orang yang mendapatkan pemberitahuan di saat-saat akhir? Hal ini memang tak terduga karena beberapa jam sebelumnya, Pres. Chaidir baru saja mengantar kepulangan PM Phillip Andrews kembali ke Australia.

Ya, "Krisis Antasena", begitu media setempat menjulukinya, cukup membuat hubungan kedua negara menjadi tegang. Bukan hanya renggang, melainkan tegang, karena masing-masing sempat melakukan pengepungan atas kedutaan besar lawannya. PM Andrews sendiri sudah berada di Indonesia selama 2 hari, antara lain melakukan pembicaraan-pembicaraan tingkat tinggi, beberapa di antaranya bahkan bukan untuk konsumsi khalayak umum, tapi kedua pihak pun menyepakati bahwa "Krisis Antasena" atau di Australia disebut sebagai "Krisis HMAS Pitcairn" lebih bersifat sebagai insiden alih-alih agresi, dan sesuai pernyataan resmi sebelumnya, PM Andrews meminta maaf kepada seluruh bangsa Indonesia bahwa insiden ini terjadi akibat "kesalahan" peneraan posisi pada HMAS Pitcairn sehingga "tak sengaja" masuk ke dalam wilayah Indonesia dan menghajar KRI Antasena yang dianggap sebagai musuh. Tentu saja Arfa mengetahui betapa bohongnya pernyataan itu, tapi dia diam saja karena Pres. Chaidir pun mendukung kebohongan itu.

Walau sudah tak awam dengan intrik-intrik politik, namun ini tak ayal membuatnya geram karena sebuah insiden besar yang mengorbankan nyawa manusia ditutupi oleh sebuah kebohongan mahabesar yang tak pernah terlintas sekalipun dalam akal sehatnya. Kompensasi bagi Indonesia sendiri cukup signifikan sebenarnya, karena Australia kembali akan "menghadiahkan" beberapa pesawat angkut C-130 Hercules-J dan beberapa cutter patroli untuk kepentingan Badan Keamanan Laut (Indonesian Coast Guard) di samping suku cadang untuk memperbaiki Hercules milik TNI-AU yang sudah rusak, dan kesepakatan pelaksanaan maintenance pesawat F-16 dan Hercules Angkatan Udara Diraja Australia di Indonesia, sebagai bayaran bahwa Indonesia menganggap semua permasalahan ini selesai. Ditambahkan dengan kunjungan perdana menteri Russia, PM Chagayev yang juga memberikan kompensasi "hibah beserta imbal beli" senjata antiserangan udara jenis Buk-M, Pantsyr, dan S-300, sebagai bayaran atas keteledoran seorang awak kapalnya yang menyebabkan binasanya NC-295 Blue Sky, ini tentu saja merupakan mimpi indah yang menjadi nyata bagi TNI. Tapi bagi Arfa, nyawa manusia jelas bukan harga seimbang untuk semua barang-barang ini.

Tapi seperti biasa, Arfa memilih untuk diam. Padahal beberapa anggota MPR dan DPR gencar menyerukan untuk tak menerima semua kompensasi, terutama dari Australia, dan melanjutkan penuntutan atas Australia dalam "Krisis Antasena", pun itu tak membuat Pres. Chaidir bergeming. Seolah Pres. Chaidir pun punya kepentingan untuk segera menutup kasus ini sampai di sini, dan Arfa tak pernah tahu alasannya. Walau dia dekat dengan Pres. Chaidir, tapi sang presiden tak mau memberitahukan semua detail di balik semua kejadian ini. Arfa teringat bahwa Pres. Chaidir pernah berkata kepadanya ketika dia menanyakan soal masalah sama dalam kasus lain: "Bila kau mengetahui semua yang kuketahui, maka sebaiknya sekalian saja kau yang jadi Presiden, tak perlu harus aku." Sebuah jawaban yang singkat, jelas, tapi amat mengena.

Sambil membawa tablet yang menjadi andalannya, Arfa pun turun ke situation room. Ini bukan situation room yang dipakai selama dalam Krisis Antasena, melainkan ruangan lain yang berada di basemen Bina Graha, terhubung pada Istana Merdeka juga, dan pada jaringan terowongan rumit antibom seandainya harus mengevakuasi presiden dan keluarganya dengan cepat. Hanya segelintir orang di dunia ini yang mengetahui adanya ruangan bawah tanah ini, yang mana itu bagus. Bahkan orang yang telah lama bekerja baik di Bina Graha, Istana Merdeka, maupun Kesekretariatan Negara pun belum tentu tahu mengenai ruangan rahasia ini. Arfa menjadi salah satu orang yang beruntung untuk bisa tahu, tapi ini pun membuatnya bertanya-tanya, karena belum pernah sekali pun Pres. Chaidir mengajak rapat di ruangan ini, bahkan saat Krisis Serawak beberapa tahun silam.

LAUT BIRU (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang