2.1

3K 192 2
                                    

Pulang-pulang Zeta menampakkan wajah cemberutnya di hadapan Mbah Udin dan Mbah Iin. Mbah Udin yang kebingungan, sampai-sampai menyimpan koran yang sedang dibacanya kemudian beralih menyelidik wajah murung Cucunya itu.

"Aya naon atuh, Neng?" Mbah Udin menepuk sofa di sampingnya, sebagai isyarat agar Zeta duduk di sampingnya. (*Ada apa, Neng?)

Zeta melepas tas yang masih menggantung di punggungnya, sebelum mengadu tentang semua keluh kesalnya hari ini. "Itu Mbah, di taman kota tadi, aya lalaki ngejatohin minuman Tata. Terus dia langsung pergi gitu aja." Adunya berapi-api. (*aya lalaki= ada laki-laki.)

Suara Mbah Iin yang muncul dari arah dapur membuat keduanya memperhatikan wanita tua itu yang sedang membawa camilan di piring. "Neng Tata tadi pagi langsung indit bae si, Mbah tadinya udah minta anaknya Heri buat nemenin Neng keliling-keliling." (*indit bae si= pergi aja si.)

"Anak Heri, Mbah?"

"Nya, anak na Heri anu rumahnya di belakang urang, temen Papa kamu, anu anaknya sering main sama Neng waktu kecil." Ujar Mbah Iin sambil menunjuk lengannya ke arah belakang rumah, padahal mau bagaimana pun Zeta pasti tidak akan mengingat rumah yang dimaksud Neneknya itu. (*Nya= iya, *anu= yang, *urang= kita.)

Tidak mau memikirkan lebih jauh soal rumah Pak Heri, Zeta lebih memilih mencicipi kue buatan Neneknya itu. "Mbah, bawa apa?

Mbah Iin kemudian menaruh piring berisi kue berwarna hijau di meja yang berada di hadapan Mbah Udin dan Zeta. "Ini, Neng. Kelepon kesukaan Neng waktu kecil."

Ekspresi Zeta seketika berubah menjadi girang seperti bayi yang diberi susu oleh ibunya. Dengan cepat Zeta meraih satu kue bulat berwarna hijau itu, Zeta sangat merindukan saat gula merah di dalamnya meluber ke setiap sela mulutnya. Karena sejujurnya di Jakarta sangat sulit mendapatkan kue yang seenak buatan Neneknya ini.

"Eh, pelan-pelan atuh, Neng. Itu kan masih panas." Wajah Mbah Udin seketika khawatir melihat Zeta yang lahap memakan kelepon itu tanpa kepanasan.

"He he. Di Jakarta jarang banget nemu makanan begini, yang enak kaya buatan Mbah Iin."

"Mangkanya jangan betah banget tinggal di kota atuh. Pulang ke sini sekali-kali." kali ini kedatangan Mbah Iin dari dapur membawa dua gelas air teh yang diletakkannya di atas meja.

"Kan ini pulang, Mbah." Zeta kemudian meraih salah satu gelas yang Mbah Iin letakkan tadi, kelepon itu membuatnya kehausan namun entah kenapa rasanya semakin membuat mulut Zeta ketagihan.

"Neng pulang juga karena patah hati kan??" Suara Mbah Udin barusan membuat hati Zeta seakan mendapat sebuah tamparan. Wajah Mbah Udin yang tertutupi koran membuat Zeta kesulitan melihat ekspresi apa yang sedang Kakeknya itu tampakkan.

Zeta yang kesal lebih memilih memainkan handphonenya untuk kemudian membuka aplikasi instagram yang terdapat di handphonenya itu. Di sela-sela tangannya menscroll foto-foto yang bermunculan di berandanya, Zeta kembali meraih kelepon yang masih terdapat di dalam piring.

Di tekannya ikon love di setiap foto-foto hits yang bermunculan, hampir semua foto di berandanya terlihat hits dan kekinian. Kehidupan anak kota Jakarta akan terlihat cupu jika tidak terpajang foto hits di instagramnya, Zeta sangat merasakan hal itu.

Namun ketika Zeta kembali merefresh berandanya untuk memuncukan foto baru. Tiba-tiba sebuah foto membuat pergerakan tangan Zeta terhenti.

Gula merah manis yang keluar dari dalam kelepon yang Zeta kunyah seketika terasa pahit ketika kedua matanya tak sengaja menangkap foto tersebut.

Rasanya pedih memang, tapi Zeta sadar di Jakarta persoalan tentang teman makan teman atau penikungan memang bukan hal yang aneh. Dan sebagai anak muda Jakarta Zeta harus berlapang dada menerima hal tersebut.

Hi, IQBAAL✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang