6.5

1.6K 113 4
                                    

Setelah keluar dari warung ubnormal itu, Ale lantas membawa Zeta ke suatu tempat, Zeta kira Ale akan membawanya pulang tapi Ale malah bilang nanti aja tanggung soalnya masih sore, dan ternyata Ale malah membawa Zeta ke Pandapa, tempatnya tidak jauh dari taman kota memang.

Di sana mereka berdua duduk di pinggiran yang letaknya starategis, bisa melihat anak kecil yang sedang bermain mobil aki, para pedagang yang berjajar, hingga hamparan langit malam pun dapat mereka jangkau oleh pengelihatan.

Semula keheningan hanya di isi oleh suara pengunjung lain yang sedang menikmati malam panjang ini, namun tak lama Ale kembali membuka percakapan diantara mereka.

"Sorry ya soal tadi."

"Iya, gak papa. Kenapa lo gak ngobrol dulu sama dia? Kayaknya dia butu ngomong sama lo."

"Gak ada yang perlu di omongin, semuanya udah berakhir. Sakit hati saya gak mau semakin berkepanjangan."

Zeta melihat raut suram di wajah Ale saat Ale mengatakan hal itu, rasa tidak enak pun menjalar di dalam hati Zeta.

"Eh sorry gue gak maksud ngungkit-ngungkit masalah lo." Ujar Zeta tidak enak.

Ale lalu tersenyum ke arah Zeta, dia mengatakan lewat senyumannya bahwa dia baik-baik saja saat ini.

Tanpa di duga Ale kembali berbicara mengenai hal itu kepada Zeta, padahal Zera tidak memaksa agar Ale menceritakan masa lalunya itu. Tapi, dengan sendirinya Ale menceritakannya kepada Zeta seolah ia memang membutuhkan tempat untuk mencurahkan lukanya selama ini.

"Saya bingung sama dia, bersikap manis di awal, ujung-ujungnya telah bosan kepada saya lalu mencari pria lain untuk bersenang-senang. Untung Tuhan memberi tau kepada saya semua sikap buruknya, jika tidak mungkin saya dan dia akan terus menjalin hubungan dalam kebohongan."

Setelah mendengar cerita Ale, entah dorongan dari mana Zeta pun dengan mudahnya menceritakan hubungannya kepada Ale. Walau sebenarnya Zeta sangat enggan membahas sakit hati itu lagi.

"Hubungan lo gak jauh beda sama yang gue alamin. Manis di awal dan ujung-ujungnya dia punya hubungan lain sama sahabat gue sendiri."

Mengingat hal itu air mata Zeta mulai mengenang di ujung matanya, hingga kemudian perlahan turun melewati pipinya.

Dalam isakannya Zeta terus menceritakan sakit hatinya kepada Ale.

"Gue gak pernah buat salah ke dia, gue gak pernah nyakitin dia, tapi apa yang dia bales ke gue? Sakit hati, dia ngehancurin perasaan gue yang udah percaya ke dia. Dua-duanya emang brengsek! Gak punya perasaan. Yang cowok bajingan, yang cewek murahan!"

Melihat keadaan Zeta yang semakin terpukul akhirnya Ale memberanikan diri mengusap pundak Zeta dari samping.

"Udah Ta, saya ngerti apa yang kamu rasain. Tapi kamu gak boleh gini, kamu harus buka mata, dan lihat masih banyak orang baik yang masih peduli ke kita."

Zeta pun perlahan-lahan menghentikan tangisannya, untuk apa ia menangisi orang yang sudah jelas-jelas menyakitinya, sungguh perbuatan yang membuang-buang waktu.

Setelah tangisannya berhenti, Zeta lalu tersenyum kepada Ale dengan kondisi wajahnya yang memerah. "Makasih."

Ale kemudian membalasnya dengan senyuman dan anggukkan. Perlahan tangan Ale menghapus bekas air mata yang menempel di pipi Zeta, "lain kali gak boleh nangis lagi ya."

Zeta pun mengangguk.

Tiba-tiba terdengar suara perut yang kelaparan, dan Zeta dengan reflek memegangi perutnya untuk menutupi suara itu.

Saat Ale menyadari dari mana asalnya suara itu, Zeta pun hanya bisa tersenyum malu untuk mengakuinya.

"Kamu lapar?"

Zeta kemudian mengangguk, "kayaknya nangis malah buat gue lapar, Le."

"Yaudah yuk makan!" Ale lantas bangkit sambil menarik lengan Zeta.

"Kamu mau makan apa?"

"Hmm apa ya, gue bingung."

Keduanya pun berjalan menuju para pedagang yang ada di pinggir trotoar.

"Ketoprak, nasi goreng, kupat tahu, seblak, bubur ayam?"

"Emang ada bubur ayam malem-malem?"

"Gak ada."

"Terus kenapa di sebut?"

"Kan lagi ngabsen nama-nama makanan. hehe."

"Ih Ale!!"

Hi, IQBAAL✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang