9.3

1.3K 105 2
                                    

Jangan tanya bagaimana wajah Zeta setelah keluar dari teater tadi. Wajahnya pucat, tangannya dingin sampai radius dua meter dari area bioskop tangannya tetap dingin seperti es beku, dinginnya bukan karena AC dalam teater yang selalu menyala, tapi karena Zeta tak kuat menahan takut selama layar di depannya menayangkan film yang paling ia hindari.

"Ta, udah mendingan?"

Kini Ale mencoba menenangkan Zeta yang masih sedikit ketakutan, Zeta sengaja menggenggam cangkir hot chocolate nya agar tangannya kembali normal.

Dan Zeta dapat melihat, wajah Ale yang terlihat cemas di hadapannya sejak tadi, "kalo kamu takut tadi harusnya bilang, supaya saya ganti filmnya." Ale sudah beberapa kali mengucapkan kata-kata itu, mungkin Ale merasa bersalah telah membuat Zeta ketakutan seperti ini.

Setengah jam kemudian, Zeta sudah kembali normal, rasa takutnya sudah menghilang, cangkir minuman keduanya juga sudah tak berisi apapun.

"Ta, sekarang udah mendingan?"

Zeta lalu mengangguk, Ale pun tersenyum lega karena pertanyaannya yang itu akhirnya Zeta respons.

"Yaudah yuk," Ale menggenggam lengan Zeta, mengajak Zeta keluar dari kedai ini.

Tangan Zeta kembali dingin dan berkeringat, saat Ale kembali membawanya ke arah area bioskop. Zeta kembali membayangkan film yang membuatnya ketakutan tadi. Dengan spontan Zeta pun menghentikan langkahnya, ia tidak mau melihat poster film Danur yang tertempel di dinding.

"Saya gak akan ngajak nonton film kayak tadi lagi kok." Ale meyakinkan Zeta lewat senyumannya.

Kali ini Ale mengajak Zeta ikut mengantri, tatapan Zeta mengarah pada tangan Ale yang menggenggam tangannya, entah itu untuk menenangkan Zeta, atau untuk melindungi Zeta. Yang pasti Zeta senang atas perlakuan Ale, rasanya terlihat seperti orang pacaran.

Di tengah antrian, Zeta mencoba mencairkan kegugupannya, "emang kita mau nonton apa?"

"Teman tapi nikah. Yang ini kamu gak bakal ketakutan kan, Ta?"

Gak ketakutan Le, tapi kebaperan, jawab Zeta dalam hati.

"Enggak lah, tapi emang lo suka film romance?"

"Saya? Mana ada cowok suka film romance, tapi kalo kamu suka kenapa enggak?"

Zeta lalu memalingkan wajahnya mendengar perkataan Ale itu, jadi dia rela ngalah demi gue? Astagahhh baper Le, Baper.

Setelah limabelas menit mengantri akhirnya mereka mendapatkan dua tiket yang langsung di tukar untuk masuk ke dalam teater. Jangan tanya bagaimana perasaan Zeta saat akan masuk ke teater ini untuk kedua kalinya, pokoknya sangat berbeda saat yang pertama tadi. Saat ini perasaan Zeta sangatlah berbunga-bunga, pikiran Zeta sudah membayangkan hal-hal romantis yang akan terjadi di dalam nanti.

Dua jam kemudian, setelah film selesai, ternyata semua bayangan Zeta di awal sirnah tanpa ada satupun yang terjadi. Zeta pikir Ale akan sama dengan pria-pria lain yang mengambil kesempatan saat nonton film romantis, tapi Ale berbeda.

Ale ya Ale pria yang tak berani berbuat apa-apa kepada Zeta, walau layar di depannya sedang menunjukkan adegan yang dapat mengundang kekhilafan.

Yang beda gini mah patut di perjuangin.

Ale lantas mengajak Zeta langsung pulang ke rumah, setelah sebelumnya Ale mampir dulu ke counter donat untuk membeli beberapa kotak yang akan di bawa pulang.

Sepanjang perjalanan keduanya tidak bersuara, sampai akhirnya Zeta memilih bersuara untuk memberi tau kan kepulangannya esok hari.

"Le, besok gue pulang, gue pulang kira-kira sorean." ujar Zeta dengan berat hati. Rasanya sangat berat untuk memberitahu kabar itu kepada Ale.

Hening untuk beberapa saat, karena Ale tidak langsung merespons perkataan Zeta.

"Balik ke sininya kapan lagi, Ta?"

Zeta tak berani menatap wajah Ale, Zeta tidak ingin air matanya jatuh ketika melihat pria di sampingnya ini.

"Gak tau Le. Mungkin kapan-kapan. Padahal tujuan awal kesini karena mau lari dari masalah itu, tapi gue malah nyaman tinggal disini, apalagi ada orang kayak lo." perkataan itu muncul dengan mudahnya dari mulut Zeta, tanpa kebohongan sedikitpun.

"Yaudah pindah ke sini, Ta." Ujar Ale sedikit bercanda.

"Gue gak bisa ninggalin orang-orang yang gue sayang di Jakarta, Le."

Dan gue juga gak mau ninggalin lo di sini. Namun kalimat itu hanya bisa Zeta ucapkan di dalam hati.

"Yaudah baik-baik di sana, jangan cengeng, hadapin masalah dengan dewasa, jangan kabur-kaburan lagi." Tanpa di duga tangan Ale mengusap pucuk kepala Zeta, dan akibat perlakuan Ale itu Zeta tak kuat membendung air matanya.

"Tuh kan baru di bilangin jangan cengeng, tapi malah nangis."

Ale kemudian menarik kepala Zeta untuk bersandar di pundaknya, mengusapnya pelan untuk menenangkan Zeta yang tak berhenti menangis.

Kini di dalam mobil ini hanya terdengar suara tangisan Zeta dan suara kendaraan lain yang terdengar dari luar.

Hi, IQBAAL✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang