Saat Zeta terbangun, dirinya terasa lebih baik dari kemarin, sepertinya itu di dapat karena waktu tidur Zeta yang baik, tidak kekurangan bahkan kelebihan karena saat Zeta melirik jam di handphonenya ia sempat terkejut sejenak karena jam di sana menunjukkan pukul 10:00.
Zeta pun segera bangkit dari tidurnya karena tidak mau di sebut wanita pemalas walau sebenarnya bangun pukul 10:00 itu sudah masuk ke dalam kategorinya.
Sebelum keluar kamar, Zeta terlebih dulu membuka jendela agar udara sejuk dapat menyusup ke dalam kamarnya ini.
Zeta tersenyum rileks saat udara dari luar terlebih dahulu mengenai wajahnya, sungguh sangat berbeda dengan udara Kota Jakarta. Yang ini Zeta rela berlama-lama menghirupnya daripada menghirup udara Jakarta yang akan membuat paru-parunya kotor akibat polusi dimana-mana.
Setelah cukup merasakan oksigen segar dari balik jendela, Zeta pun bergegas keluar kamar untuk mengetahui keadaan di luar sana. Yang pertama Zeta dapati yaitu keadaan ruang keluarga dan ruang tamu yang kosong.
"Kok sepi gini si?" Tanya Zeta kebingungan.
Setelah mengetahui keadaan di daerah situ sepi, Zeta kemudian melanjutkan langkahnya menuju dapur. Tidak sia-sia ia melanjutkan langkahnya, karena ternyata Mbahnya itu sedang berada di dapur.
"Mbah, lagi ngapain?" tanya Zeta.
Posisi Mbah Iin yang semula memunggungi Zeta, lantas berbalik setelah ia mendengar suara seseorang memanggilnya.
"Lagi buat bolu, bantuin Mbah ya, Neng."
Tanpa menolak, Zeta langsung menghampiri Mbah Iin dan merebut adonan yang sedang di mix olehnya. Walaupun tidak terlalu jago, tapi Zeta tetap menyukai aktivitas seperti ini, di Jakarta pun tak jarang ia membuat kue ataupun bolu dengan Mamanya.
"Tumben bangunnya siang Neng?" tanya Mbah Iin, wanita itu kini sedang menumbuk umbi-umbian berwarna ungu yang sebelumnya sudah di rebus terlebih dahulu.
"Kecapean Mbah, jadi pelornya kambuh." Zeta terkekeh seraya fokus dengan adonan di hadapannya. "Mbah Udin kemana ya Mbah?"
"Itu lagi maraban si sideung." (*ngasih makan si hitam.)
"Si hideung teh naon Mbah?" (*si hitam tuh apa Mbah?)
"Itu ayam kesayangannya." Mbah Iin kemudian menyerahkan umbi-umbian yang telah selesai ditumbuknya, "ini di campurin ke adonan ya, Neng."
Zeta kemudian mencampurkannya perlahan sehingga lama kelamaan adonan tersebut berubah menjadi berwarna ungu. "Ini teh apa, Mbah?"
"Itu teh boled Neng." (*boled=ubi)
Zeta lalu ber 'O' ria setelah mendengar jawaban Mbah Iin.
"Oh iya Mbah, kenapa di namainnya si hideung?"
"Ya karena warna ayamnya item Neng."
"Hah? Iya Mbah?"
Mbah Iin hanya menjawabnya dengan anggukkan. Setelah itu dia mengambil alih adonan yang telah tercampur rata, untuk kemudian dimasukkan ke dalam loyang.
"Gak ada lagi Mbah?"
"Udah Neng, tinggal nunggu mateng aja."
"Yaudah, Tata pengen liat si hideung dulu ya, Mbah."
"Iya sok."
Setelah itu Zeta pergi ke belakang rumah untuk melihat ayam kesayangan Mbahnya, Zeta penasaran apa benar ayam itu memang berwarna hitam atau sekedar ke isengan Mbah Udin yang mewarnai bulunya.
Dan apa yang Zeta lihat di hadapannya ini benar-benar membuatnya terkejut, ayam itu memang benar berwarna hitam, bulunya, jenggernya, sampai kakinya pun memang berwarna hitam, tinggal satu yang tidak terlihat hitam, yaitu dagingnya.
Setengah jam kemudian, setelah Zeta cukup puas telah mengintrogasi ayam Mbahnya itu, Zeta mendengar namanya kembali dipanggil oleh Mbah Iin. Zeta pun kembali menghampiri Mbah Iin yang masih berada di tempat yang sama.
"Kamu anter ini ke pak Heri ya." Titah Mbah Iin.
Dengan antusias Zeta mengacungkan jempolnya sebagai tanda 'Oke Mbah'.
"Tata mandi dulu ya, Mbah." Zeta pun pergi ke kamarnya untuk mengambil handuk, namun saat di tengah perjalanan Zeta sedikit curiga dan kembali menanyakannya kepada Mbah Iin.
"Mbah rumah Pak Heri itu di mana ya?" teriak Zeta yang sudah berada di depan kamarnya.
"Itu Ta, Bapaknya Ale loh, Ta."
Setelah mendengar jawaban Mbah iIn, Zeta hanya bisa menepuk jidatnya frustasi. "Haduh, mampus gue!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, IQBAAL✔
General Fiction[Complited] "Kamu sekarang sudah dewasa ya, gak suka lagi pakai bando kaya dulu." ujar Ale. "Yaiyalah, masa gue terus-terusan mau pakai begituan sampe SMA. Entar yang ada gue di katain sama temen-temen gue." Timpal Zeta tak terima. "Tapi saya lebi...