Pagi yang bersahabat di ruang tunggu rumah sakit, aku memandang gadis kecil berseragam putih merah yang terlihat asyik menghitung kancing baju, duduk termenung di bangku paling ujung. Rambutnya yang ikal terkuncir tinggi di kanan dan kiri, bersandarkan ransel berwarna hijau di punggungnya.
Aku berjalan menenteng tas polos di tangan kanan, bermaksud mendekati seorang anak berkisaran sepuluh tahun yang masih belum berkutik dari posisi duduknya. Anteng. Beberapa suster yang tak sengaja berpapasan denganku, menyapa hangat, bertanya apakah aku sudah selesai bertugas. Aku mengangguk, menjawab sudah. Di sekitarku, lalu-lalang manusia keluar - masuk. Mungkin mereka hendak menjenguk kerabat, saudara, ataupun keluarga yang dirawat di sini. Sesekali kudapati dari mereka melemparkan senyum ramah padaku. Aku balas tersenyum.
"Hei, Adik tidak sekolah? Kok, masih di sini? Siapa yang sakit? Ayah, ibu, kakak, adik, atau?" Aku menjawil lengan gadis kecil itu, ikut duduk di sebelahnya.
Gadis kecil dengan pipi tembem itu menoleh dan menggeleng.
"Kebetulan aku masuk pukul sembilan, Kak," jawabnya sopan.
"Oh, begitu, ya," sahutku sambil melirik jam di pergelangan tangan yang sudah pukul 08:45 WIB. "Eh, bukankah sebentar lagi masuk kelas? Apakah ada yang sedang ditunggu? Kau belum menjawab pertanyaanku." Aku mengernyitkan dahi, ingin tahu.
"Aku sejak tadi menunggu Kakak," potongnya cepat. Gadis kecil itu menengadahkan wajahnya padaku. Dua bola matanya yang bulat dan hitam menatapku tajam, seolah ingin menumpahkan sesuatu yang sukar dijelaskan dengan kata-kata. Sepasang mata itu persis sekali dengan mataku sewaktu kecil.
"Eh, aku? Apa aku tidak salah dengar?" Dahiku berkerut. Bingung. "Untuk apa menungguku? Apakah kita saling kenal?"
"Tidak. Kita tidak saling kenal. Tetapi aku berharap Kakak bisa menjadi pahlawan di desaku,"
"Loh, memangnya ada apa dengan desamu?"
"Desaku sangat membutuhkan Kakak. Aku tahu Kakak ini sudah sukses, maka pulanglah, Kak. Selamatkanlah desaku. Kumohon," desaknya memelas.
Aku mematung sejenak. Kenapa pula anak kecil ini membutuhkanku? Kenapa tidak orang lain saja, pikirku. "Memang desa Adik di mana?"
"Beber," jawab anak kecil itu sambil berlalu.
Apa? Beber? Sepertinya aku tidak asing mendengar nama desa itu. Seketika bola mataku berputar-putar liar, mencoba mengartikan secara nalar.
"Hey, siapa namamu, Dik? Kita belum selesai bicara..." teriakku menghentikan langkah kakinya.
"Kinara,"
Gadis kecil itu menoleh sebentar, kemudian kembali membalikkan badan dan berlalu pergi meninggalkanku yang berdiri mematung dengan perasaan bingung.
Dahiku semakin berkerut. Kinara? Bukankah itu namaku? Gumamku dalam hati. Namun sebelum aku bertanya lebih jauh dan hendak mengejarnya, Pak Ihsan menghampiriku, mengingatkan untuk bergegas pulang karena semalaman lelah bertugas. Aku tersenyum datar pada supir pribadiku.
Punggung anak kecil berseragam sekolah itu menjauh. Menghilang sempurna dari hadapanku. Siapakah dia? Aku mengangkat bahu, tidak tahu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
DESA TERKUTUK
RomancePotongan kenangan masa kecil itu, membuat Kinara semakin mantap membalaskan dendam pada orang-orang yang pernah menyakiti hatinya. Ia pun berniat membawa pergi nenek tercintanya dari desa terkutuk yang selama ini membesarkannya. ~ Cerita ini terins...