Bab 19

119 4 2
                                    

Lima puluh tiga hari sudah aku tinggal di kampung orang, masalah demi masalah datang menghampiri. Pihak rumah sakit menskorku karena aku mangkir dari tugas. Ganjar pun tak pernah lagi menghubungiku. Ibu? Aku masih berkomunikasi baik dengannya, meski itu terhitung sangat jarang.

"Ganjar semakin perhatian pada ibu, Nara. Setiap pagi dan malam hari, ia selalu mampir ke rumah membawakan sarapan dan makan malam. Ibu juga sering pergi berduaan dengannya ke mal, menemani nonton film robot. Ah, ibumu ini tidak mengerti, Kinara." Ibu tertawa di ujung telepon.

"Apakah Ganjar pernah menanyakan keadaanku?"

Ibu terdiam beberapa detik, "Pernah, tapi tiap kali ibu membahas tentangmu, dia mengalihkan pembicaraan. Kalian sedang bertengkar?"

Aku menarik napas. "Tidak, Bu. Aku sama sekali tidak bertengkar dengannya. Barangkali Ganjar sibuk. Sudahlah, Ibu tak perlu khawatir. Sebentar lagi proyek pengeboran selesai," kataku menenangkan.

Entah apa yang terjadi dengan Ganjar. Ia tak pernah mengangkat telepon dariku. Juga tak pernah meneleponku seperti sebelum-sebelumnya. Pak Ihsan bilang, hampir setiap hari Ganjar meneleponnya, tapi sama sekali tidak menanyakan keadaanku. Barangkali memang dia tidak merindukanku.

Hati ini bergejolak dahsyat. Surya dan istrinya telah resmi bercerai. Kami berdua lebih berani bertemu di depan umum. Karena warga sudah terlanjur tahu akulah dalang dibalik layar, maka dengan ringannya aku melangkahkan kaki ke Desa Beber. Memantau pekerjaan yang hampir selesai.

Seperti biasa, Bi Leha langsung menutup pintu ketika mencium kedatanganku. Aku tidak dapat berjumpa dengan nenek walau sekilas. Bi Nurfi bilang, nenek tidak boleh keluar rumah barang sedetikpun. Aku semakin geram menyaksikan tingkah Bi Leha yang seperti tidak waras itu.

Hari ini rencananya aku menemui kepala sekolah SDN Cigadung 03 untuk membicarakan lahan yang akan digunakan sebagai penyimpanan tabung air berukuran jumbo, yang fungsinya untuk menyaring air dari pegunungan. Dan dari tabung besar itu akan dipasangkan selang-selang yang akan disambungkan ke rumah warga.

"Kita tidak punya lahan luas untuk meletakkan tabung itu, Kinara. Hanya ada satu tempat yang kukira cukup luas, yakni di belakang sekolahan," ungkap Surya tempo hari di brug susukan (jembatan sungai).

Aku diantar Pak Ihsan menemui kepala sekolah SDN Cigadung 03. Supir pribadiku tidak pernah absen menemaniku. Ia laksana panglima perang yang selalu siap siaga kemanapun aku pergi.

"Sejak awal melihatmu, aku yakin kaulah Kinaraku, murid terpandai yang pernah membanggakan sekolah ini, yang berhasil mewujudkan cita-citanya menjadi dokter spesialis bedah. Cici saja yang pintar tak ketulungan, tak mampu memberikan satu piala pun pada sekolahan ini. Bapak tidak bermaksud membandingkan, kalian memang pintar. Bapak kagum dan bangga padamu, Kinara." Pak Jimi menorehkan senyumnya yang tak henti-henti.

"Lihatlah piala di bupet itu, Kinara!" Pak Jimi menunjuk lemari tinggi berlaiskan kaca bening. "Di sana terpahat jelas namamu. Kau pernah mengharumkan sekolah ini karena juara satu lomba cerdas cermat Bahasa Indonesia tingkat kecamatan. Bapak tidak akan pernah lupa," sanjungnya padaku.

Aku tersenyum, sekilas mengangkat piala yang berdebu terpajang di etalase sederhana itu.

"Apa yang bisa Bapak bantu, Kinara?" Pak Jimi memutuskan lamunanku. Aku kembali duduk di bangku kayu.

"Apakah aku boleh memakai lahan sekolah untuk penyimpanan drum filter air, Pak?" tanyaku hati-hati, takut beliau tidak mengizinkan.

"Tentu saja boleh, Nak. Bapak sebenarnya sudah paham maksud kedatanganmu ke mari. Kau tahu, kan, gosip di desa ini cepat sekali merambat. Tetapi Bapak hanya percaya gosip yang positif saja, negatifnya, Bapak buang ke susukan (sungai buatan Belanda). Ini merupakan tindakan yang sungguh mulia bagi banyak orang, Kinara. Bapak amat memperbolehkanmu memanfaatkan lahan kosong tersebut."

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang