Bab 5

704 7 0
                                    

Malam ini seminggu sudah aku ditinggal ibu ke Jakarta. Selama seminggu pula, Kak Fatin, Kak Eli, dan Kak Iin menemaniku sepanjang malam di ranjang tingkat. Berhubung besok tanggal merah, Kak Eli mencetuskan ide untuk jalan-jalan ke hutan yang mulai gundul. Sudah tiga malam terakhir kami membahas rencana tersebut.

"Aku sudah bilang pada bapak jauh-jauh hari tentang rencana kita, Iin, Eli, Nara. Ah, ya, kebetulan minggu ini beliau tidak ada jadwal ke ladang. Bapak bersedia menjadi pemandu kita," ucap Kak Fatin menggebu-gebu, penuh semangat. Kami saling bersorak antusias.

"Sekarang kita harus tidur lebih awal. Agar ketika besok kita bangun, tubuh kita punya banyak cakupan tenaga untuk mendaki."

"Nah, itu, benar sekali, Eli. Mari kita tidur." Kak Iin memeluk guling, menimpali. Aku menarik selimut, tidak sabar menunggu esok.

Setelah puas bertengkar berebut guling, Kak Fatin mengalah pada Kak Eli. Ranjang tingkat seketika senyap. Menyisakan bunyi seribu jangkrik yang bederik-derik. Sepoi angin yang kencang terdengar mengibas dahan pohon jambu biji.

Suara nyiur jatuh yang menimpa permukaan air balong, membuat kaget. Aku dan Kak Iin tidur di ranjang bawah. Sedangkan Kak Eli dan Kak Fatin tidur di ranjang atas. Buaian alam di desa Beber, meninabobokan kami. Berlatar suara jangkring dan desau angin yang bergeming.

***

"Bangun, Nara. Ayo kita siap-siap! Sudah pukul empat. Mandi dan sholat Subuh berjamaah!" Kak Eli menggoyang-goyangkan lenganku. Ia sudah bangun lima menit lalu, terbirit-birit lari ke empang Mang Eman untuk membuang hajat. Sekarang mengganggu tidurku yang belum tuntas.

Aku memicingkan mata, menguap. ayam jago malas-malasan berkokok, baru terdengar satu-dua. Hari masih jauh dari pagi. Embusan angin masuk lewat celah-celah bilik bambu yang bolong, membuat tubuhku menggigil dan menarik kembali selimut yang mengelupas jauh dari badanku

"Iin, Fatin, jangan asyik bermimpi. Lekas bangun atau akan kusiram kalian pakai air jelumbang, hah?" Kak Eli berseru sebal memegangi tiang pintu ranjang, memukul-mukul tepiannya membuat gaduh.

"Eh, kau berisik sekali, Eli. Mengganggu mimpiku saja." Kak Fatin komplain karena mimpi menangkap belalangnya yang sedang seru-serunya terputus oleh suara cempreng Kak Eli. Namun, ia segera duduk, memeluk lututnya dan turun ke bawah ranjang sambil berceracau, berjalan terhuyung-huyung menuju jambangan di belakang rumah.

Kak Eli cengengesan menanggapi kekesalan Kak Fatin dengan menarik selimutku. "Bangun, Nara, Iin! Tidur kalian macam kerbau saja. Bagaimana kalau Wa Latif meninggalkan kalian?"

Meski udara pagi di musim kemarau selalu dingin karena angin muson barat bertiup tak henti-henti, aku selalu tersenyum menatap kerlipan ribuan bintang di langit yang bagaikan ceres bertaburan.

Angkasa kelam masih membisu. Bahasanya tanpa suara. Gugusan bintang-bintang sudah lama memudar karena rotasi bumi kian mendekati fajar.

Satu titik terang di timur tenggara menggairahkan semangatku. Itu Venus, planet terdekat dari matahari dan terdekat dengan bumi, yang dijuluki sebagai bintang kejora, bintang yang paling benderang di antara gemintang lainnya.

Tak lama kami mandi, lantang suara adzan subuh dari toa surau terdekat berkumandang alangkah merdunya. Di kampung kami, jadwal adzan Shubuh lebih awal dibandingkan di Jakarta, yakni pukul 04.01 WIB. Kami tidak pergi ke surau, melainkan berjamaah di rumah.

Jadwal imam pagi ini ialah Kak Eli. Suaranya melengking hingga ke langit-langit ruangan. Setelah Sholat Subuh berjamaah, kami bersiap-siap mengabsen barang apa saja yang hendak dibawa.

Kak Fatin izin pulang menjemput bapaknya. Aku biasa memanggilnya Uwa Latif. Beliau merupakan kakak sepupu ibu, orang yang paling disegani di kampung kami. Nenek yang mendengar kehebohan di rumahku segera mendekat. Pagi ini aku tidak menanak nasi. Nenek sudah menyiapkannya untuk bekal sarapan kami. Nenek terbiasa bangun pukul dua pagi. Karena kebiasaannya itulah, nenek memanfaatkan waktu terjaganya untuk mengerjakan urusan rumah tangga, seperti berkelut di dapur dan menghangatkan tubuh dari dinginnya musim kemarau.

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang