Bab 1

1.9K 40 0
                                    

Sang surya sudah sepenggalah naik. Cahaya hangatnya menyentuh wajahku, menembus panca indera, membuatku harus menurunkan anti silau di atas kepala. Suara klakson bersahutan terdengar bising mengakibatkan kepalaku pusing. Aku memasangkan sabuk pengaman ke pinggang dan mencari sosok gadis kecil berambut ikal yang menyatakan dirinya sebagai Kinara, yang belum lama memohon padaku untuk membantu desanya yang bernama Beber.

Sepagi ini jalanan ibukota menggeliat dahsyat dengan embel-embel kemacetan dimana-mana. Mobil yang kutumpangi nyaris tidak bergerak. Asap knalpot dari kendaraan roda dua dan empat memenuhi seluruh atmosfir udara. Situasi pagi selalu saja seperti ini, menyebalkan.

Sepanjang trotoar tidak jauh dari rumah sakit, mataku menyisir sosok Kinara, gadis kecil imut nan polos bermata bulat yang terus membayangi pikiranku. Namun, aku tidak menemukannya. Mungkin saja dia telah masuk ke dalam kelas, lari secepat kilat agar tidak terlambat. Aku hanya melihat tukang sapu berpakaian jingga sibuk mengeduk sampah, juga petugas keamanan gedung-gedung bertingkat yang repot mengatur lalu-lintas.

Sebentar, tadi Kinara bilang apa? Sukses? Kenapa dia yakin sekali aku sudah sukses? Tahu dari mana anak itu? Aku menopang dagu, mencoba berpikir keras. Dulu, aku pun sering bertanya hal yang sama pada ibu, nenek, kakek, bibi, sahabat, dan pak guru. Semua jawaban yang kuperoleh tak memuaskan hati. Katanya, sukses itu adalah keberhasilan. Berhasil yang bagaimana? Pertanyaan ini entah berapa kali kutanyakan berulang-ulang.

Setahun silam, aku memang telah berhasil membedah isi kepala ibuku. Meski tidak tega, aku harus tetap melakukannya guna mengangkat tumor ganas yang bersarang di otak wanita yang amat kucintai setelah nenek. Mungkin aku sedikit terlambat mengangkat penyakit sialan itu. Tapi, aku bersyukur, Tuhan memberikan kesempatan menjadikanku dokter spesialis bedah di usiaku yang terbilang sangat muda, dan membiarkan jemari-jemariku mencabut gemas gumpalan darah yang seenaknya membuat ibu sakit bertahun-tahun karenanya. Tentu saja aku tidak melakukannya sendirian, melainkan dengan bantuan beberapa tim medis lainnya yang ahli di bidang syaraf otak, baik dari dalam, maupun luar negeri.

***

Sejak aku beranjak remaja, ibu mengalami tekanan batin dan trauma yang mendalam. Ayahku selingkuh dengan wanita lain, lupa pada kami. Kala itu, nasibku terluntang-lantung, antara putus sekolah atau menjadi pemulung. Susah payah ibu mencoba mempertahankan hubungannya dengan ayah. Pada akhirnya kedua orangtuaku tak mampu lagi bertahan mengarungi hidup bersama. Ayah tidak mengakui ibu sebagai istrinya, mencampakkan kami begitu saja.

Sebelum bercerai, ayah dan ibuku merantau di Jakarta, sedangkan aku dititipkan pada nenek di desa sejak usia empat tahun. Perempuan yang sudah beruban itu amat menyayangiku. Bahkan saat nasibku di ujung tanduk, beliau ikut berpartisipasi mencari pemasukan untuk membiayai SPP-ku yang tertunda beberapa bulan terakhir. Salah satunya menjadi buruh serabutan rumput di sawah orang. Namun, Bi Leha, adik bungsu ibu, tidak suka dengan perlakuan nenek yang katanya pilih kasih. Dia malah mengusir dan menyuruhku menjadi pelacur di ibukota, menyusul ibu yang menurutnya tidak bertanggungjawab. Padahal aku tahu pasti, ibu mengusahakan yang terbaik untukku, terutama mencari selembar uang untuk membiayai hidup kami di kampung.

"Perempuan itu hidupnya tidak jauh-jauh di dapur, Nara. Untuk apa sekolah tinggi, kalau ujung-ujungnya ke dapur. Carilah suami yang kaya raya. Maka kau akan hidup senang, sejahtera, berkecukupan. Tidak perlu repot-repot menghafal rumus matematika, mempelajari fisika, biologi, sejarah, tak ada gunanya. Memangnya kau berniat menjadi dokter terkenal? Profesor? Duit dari mana? Kau berasal dari kalangan keluarga miskin, tak akan pernah sanggup membiayainya. Lebih baik membeli sawah, kerbau, emas, rumah. Ketimbang mempelajari hal-hal rumit yang sama sekali tidak bermanfaat. Lihatlah, gubuk bilikmu yang reot itu, sebentar lagi akan roboh tertiup angin. Tak usahlah kebanyakan mengkhayal menjadi orang berpendidikan. Belum tentu kau akan menjadi kaya." Hasut Bi Leha sambil tertawa cekikikan.

Aku diam, tidak berselera menanggapi celotehan Bi Leha yang menghujam dadaku hampir setiap hari. Biarkan saja dia mau berkata seperti apa, aku tidak mau ambil pusing. Aku hanya tidak suka ratu manja itu selalu memperlakukan nenek laiknya budak. Seenak jidat menyuruh ini-itu yang sebenarnya dirinya sendiripun bisa melakukannya. Tidak terhitung berapa kali aku menyaksikan dia mengomeli nenek dengan sadis, berteriak-teriak hingga terdengar tetangga kanan-kiri, depan-belakang. Sampai-sampai Wa Latif, Mang Udin, dan beberapa tetangga lainnya mendekat melerai.

Bi Leha sering menyuruh paksa nenek mencucikan pakaian yang menggunung, mengepel lantai, menimbakan air untuknya mandi, memasak untuk isi perut dan anaknya, mencarikan udang di sungai, mencari kayu bakar ke hutan, dan lain sebagainya, persis nyonya menyuruh pembantu. Kau tahu, nenekku sudah sepuh. Tak sepantasnya dijadikan babu seperti itu. Aku selalu mengingatkan nenek agar tidak mematuhi segala perintahnya. Tetapi, yang tak kumengerti, beliau tak pernah sekalipun menolak apa pun yang diminta ratu kejam dan durhaka sejagad-raya itu. Sungguh antagonistis.

Karena tak kuat menahan penderitaan akibat ditelantarkan dan dikhianati ayah, ibu mulai sakit-sakitan. Obat warung yang berdosis tinggi, tak terhitung berapa kali diminumnya dalam sehari. Hingga hal itu menjadi ketergantungan. Ibu menjadi pengonsumsi obat nomor satu di dunia. Oleh sebab itulah, kini ibu menjadi pecandu obat racikan rumah sakit yang tak boleh lalai meminumnya barang sedetik. Syaraf otaknya telah terkikis. Jika lupa minum obat sekali saja, maka tubuh ibu akan kejang-kejang dan mulutnya mengeluarkan busa serta darah, kemudian mengeluh seluruh organnya seperti babak belur seperti pencopet yang baru saja dikeroyok warga.

"Kau harus pulang, Nara. Tepati janjimu pada Ibu," Ibu terbatuk di kamar kecil dengan kepalanya yang terbungkus perban berlumuran darah.

Aku tidak menjawab, masih memandangi wajah ibu yang pucat pasi. Bagaimana mungkin aku meninggalkannya dalam posisi seperti ini? Fisiknya masih lemah. Meski ada beberapa suster yang kusewa untuk menjaga ibu, tapi aku tetap tidak akan pernah tega meninggalkannya dalam kurun waktu lama dan jarak yang begitu jauh.

"Aku akan pulang jika ibu sudah pulih total. Lekaslah sehat, Ibu. Kita akan pulang bersama-sama," kataku seraya mengganti perban di kepalanya. Mendengar kata 'pulang', aku jadi teringat sosok gadis kecil berkuncir dua, mengenakan seragam putih-merah yang sibuk menghitung kancing, duduk termenung di ruang tunggu rumah sakit setahun yang lalu. Gadis kecil yang misterius.

***

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang