Bab 23

199 6 5
                                    

Di ruang tamu, para tetangga dan kerabatku berkunjung tak henti-henti mengucapkan kata 'selamat jalan'. Hampir seluruh penduduk Dukuh Beber berdatangan secara bergantian membawakan bungkusan berisi oleh-oleh. Ada bawang merah, telur asin, berkarung-karung beras, bersikat-sikat pisang, rangginang, opak, jawadah, dan lain sebagainya.

Saat mentari di ufuk timur menyeruakan cahaya hangatnya, aku, ibu, nenek, Bi Nurfi, Bi Luni, Kak Fatin, dan Wa Latif berjalan menuju pemakaman almarhum kakek. Kami mengirimkan doa sekaligus berkunjung pada nama yang tinggal batu nisan itu. Sepanjang perjalanan, langkah kakiku banyak berhenti tertahan sapaan warga. Mereka menyayangkan kenapa aku dan ibu harus kembali secepat ini ke Jakarta. Dengan sabar, aku berulang-ulang menjelaskan bahwa besok ada jadwal bedah yang harus kutangani. Satu-dua tetangga memujiku, berdoa agar kelak anak-anaknya menjadi wanita tangguh dan gigih sepertiku. Sebenarnya aku tidak terlalu suka dipuji, namun untuk menghormati, aku mencoba tersenyum.

Lima belas menit menjelang keberangkatan, warga berbondong-bondong menyalami ibu dan aku, mengucapkan beberapa kalimat pertanda terimakasih atas jasaku di desa ini. Ada Pak Jimi, Nunu, Cici, Winar, dan warga lainnya yang pernah mengenalku. Aku tersenyum, mengatakan kalau apa yang kulakukan demi kesejahteraan bersama. Aku ikhlas melakukannya.

Di jembatan kayu, Kak Fatin mencegatku, matanya berkaca-kaca. "Sering-seringlah pulang ke desa ini, Kinara. Jangan lupakan kami, jangan lupakan semua kenangannya," katanya sambil memelukku.

Aku balas memeluknya, "Aku tidak akan melupakannya, Kak. Tenanglah, aku akan sering-sering mampir ke desa ini," tukasku melepaskan pelukannya. "Terima kasih atas semua bantuanmu selama ini, Kak. Aku sungguh berhutang budi," kataku sambil menyeka air mata.

"Apa-apaan kau ini, Kinara. Mana mau aku menghutangkan budi padamu. Aku melakukannya dengan tulus. Kau adikku, selalu menjadi adikku yang cantik, pintar, dermawan, dan berhati mulia, Kinara. Tetaplah seperti itu selamanya." Kak Fatin menepuk bahuku dan berpura-pura melucu, meski akhirnya air mata yang terbendung di matanya jatuh menetes ke pipi tirusnya.

Kak Eli yang sedari pagi mengunjungi rumah nenek bersama dua anaknya, gantian memelukku, "Jadilah selalu Kinara yang hebat, tangguh, tak terkalahkan. Kau adalah inspirasi, Kinara." Kak Eli melepaskan pelukannya.

Aku tersenyum. "Kak, aku sudah merepotkanmu. Terima kasih ya atas semuanya," aku gantian memeluk Kak Eli.

"Banyak sekali pengorbanan yang kau lakukan untuk desa tercintamu ini, Kinara. Kelak anak-anak Beber lainnya pasti bisa mencontohmu. Uwa yakin, Allah selalu akan bersama orang-orang yang sabar sepertimu dan juga ibumu." Wa Latif menepuk pundakku, tersenyum.

Aku mencium tangannya, mengatakan padanya kalau semua orang pasti bisa melakukan apa yang kulakukan. Pada Uwa Latif, aku menitipkan nenek, memohon agar beliau menjaganya. Uwa Latif dan istrinya mengangguk, mencium keningku sambil berkaca-kaca.

Para tetangga yang memenuhi halaman sempit rumah nenek hingga jalan, berebut bersalaman demi mengantarkanku masuk ke dalam mobil. Rasanya pipiku pegal karena sejak bangun tidur, harus menyunggingkan senyum pada setiap orang yang menyapa.

Satu per satu bergantian menyalamiku, termasuk Bi Luni, Bi Nurfi, nenek Surya, saudara dekat dan jauh, tetangga kanan dan kiri, serta Surya sendiri. Laki-laki yang mengenakan seragam kebesaran kepala desa itu berdiri di bawah pohon jambu, dibalik rimbunnya manusia yang menggerumutiku bak semut melingkari gula.

Dia tidak menghampiriku, melainkan aku yang menghampirinya. Aku tak mengucapkan sepatah katapun, hanya tersenyum dan menyalaminya. Dia ikut tersenyum, tapi tidak dengan matanya yang berkaca-kaca. Tangannya erat mencengkeram tanganku. Menitipkan sepucuk surat yang diselipkan ke telapak tanganku. Berita mengenai aku dan Surya bukanlah berita baru di Desa Beber. Semua orang tahu itu. Tapi yang tidak kumengerti, mantan kekasih monyetku itu berhubungan baik dengan Ganjar. Tanpa sepengetahuanku, mereka berdua kompak membantuku dalam proyek pembuatan PAM.

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang