Bab 11

362 6 3
                                    

Di ruang tamu sempit yang mengapit dua bangku kayu reot dan meja kecil pincang, duduklah aku, nenek, Wa Latif, Bi Leha, Bi Nurfi, dan Bi Luni. Sementara Kak Fatin berdiri di sampingku laiknya narator di sebuah notulen rapat.

Sedangkan, Pak Ihsan mengambil tugasnya sendiri menjaga pintu agar warga tidak menyerobot masuk ke dalam lantaran pintu nenek tak punya kunci. Gayanya persis security yang mengatakan, ‘Awas, ada anjing GALAK!’ pada mereka yang menguping di luar bak jurnalis amatir memburu berita fenomenal terkini. Supirku memang multi fungsi, tak salah aku membawanya ke mari.

“Leha, aku malu dengan sikapmu. Jika saja nada bicaramu tidak tinggi dan keras, maka warga tidak akan menonton pertengkaran kalian. Sungguh memalukan.” Wa Latif mengusap wajahnya, kecewa.

Tak hanya bijak, sebagai tetua di kampung, Wa Latif merupakan seorang yang amat dikagumi, dihormati, dan ditakuti karena sikap wibawa dan kharismatiknya. Hubunganku dengan Wa Latif terbilang sangat dekat, selain hubungan saudara karena satu buyut, rumah kami juga hanya terhalang balong dan lahan kosong. Proses musyawarah mufakatpun berlangsung dingin.

“Kau boleh membawa ibuku, Kinara, tapi dengan satu syarat,”

“…”

“Keluarkanlah mata air di desa ini. Sanggup tidak?” tantang Bi Leha dengan wajah masam, “Kau tidak akan pernah sanggup, Kinara. TIDAK AKAN PERNAH SANGGUP!”

Aku tak berkomentar. Sungguh syarat yang berat. Tapi aku Kinara, gadis cerdas dan pantang mundur sebelum bertarung. Maka dengan tenangnya, aku merasa syarat Bi Leha merupakan tantangan baru bagiku.

Bi Nurfi angkat bicara, “Kau ini apa-apaan, Leha. Itu sama sekali syarat yang tidak masuk akal,”

Di luar, derik jangkrik berderik-derik, membungkam para jurnalis yang menggebu mengiginkan berita terbaru lekas terbit. Bi Luni, Kak Fatin, nenek, dan Pak Ihsan, menutup mulut. Hanya menyaksikan keributan antara aku, Bi Leha, dan Bi Nurfi.

“Bagaimana, Kinara, bisakah kau membuat mata air keluar di Desa Beber? Desa tercinta, tanah kelahiranmu ini? Aku akan bersujud di kakimu bila kau bisa,” pekik Bi Leha tersenyum penuh kemenangan.

Aku masih belum menjawab. Bukan karena aku takut, melainkan aku sedang berpikir keras memberikan jawaban yang paling tepat di antara pertanyaan konyol yang diajukan Bi Leha.

“Tak adakah persyaratan lain yang lebih mudah, Leha? Kau ini sudah benar-benar GILA!”

“Diam kau, Nurfi, jangan ikut campur. Tutup mulutmu, atau aku akan mengusirmu dari sini,”

“Sembarangan katamu, Leha. Aku ini kakakmu, bibi dari Kinara, maka aku berhak ikut campur atas masalah keponakanku. Lihatlah kelakuan anak bungsumu, Ibu. Apakah dia pantas diakui sebagai anak emas? Anak durhaka seperti dia baiknya ditenggelamkan di Waduk Malahayu biar dimakan si Buntung,” Bi Nurfi melirik nenek yang mematung tak berkutik.

“Apa kau bilang? Aku tidak terima kau mengecapku seperti itu,” Bi Leha mendekati Bi Nurfi, dengan kasar menjambak kerudung yang dikenakan kakaknya sendiri dengan tatapan penuh murka.

Aku berusaha menolong Bi Nurfi yang kesakitan karena beberapa akar rambutnya tercabut dari kulit kepala. Namun Bi Nurfi membalas mencakar wajah Bi Leha dengan ganasnya. Aku kewalahan memisahkan mereka berdua. Wa Latif, Bi Luni, dan Kak Fatin, ikut memisahkan pertengkaran. Pak Ihsan ingin beranjak dari tempatnya berdiri, namun ia harus tetap pada posisinya agar warga tidak menyelonong masuk.

Anak bungsu Bi Luni menangis melihat keributan yang tak sepatutnya dilihat. Membuat ruangan bak tontonan film antagonis yang sedang diputar.

“Hentikan, Leha! Nurfi! Memalukan keluarga saja! HENTIKAN KUBILANG!” Wajah Wa Latif merah padam. Ia menarik paksa tangan Bi Leha dan Bi Nurfi yang saling jambak.

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang