Bab 3

1.5K 19 1
                                    

Aku tenggelam dalam bacaanku. Artikel tentang kekeringan di beberapa wilayah Indonesia berkali-kali membuatku menghela napas. Di kursi pengemudi, Pak Ihsan fokus memerhatikan jalan. Kadang untuk menghilangkan jenuh, ia mendendangkan tembang kenangan, bersenandung riang. Kadang pula membahas jalanan pantura tiga tahun terakhir, yang mana dulu kanan dan kirinya terbentang luasnya hamparan sawah nan hijau bak permadani.

Aku sedang malas menanggapi. Ucapan Pak Ihsan bagai angin lalu yang masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Kulayangkan pandanganku ke tengah sawah. Di sana, bisa kulihat burung pipit dan camar terbang landai, mencicit dan berkejaran, berebut singgah di dahan padi. Namun di sisi jalan, banyak berdiri bangunan-bangunan megah. Sawah dan hutan semakin menyempit, tergantikan oleh rumah-rumah penduduk dan warung kelontong.

Tepat di Indramayu mobilku berhenti tak bergerak. Aku melirik spion tengah, bertanya ada apa. Pak Ihsan bilang, kemacetan panjang tidak dapat terurai. Laju kendaraan roda empat benar-benar tersendat, membuat gerah dan lelah pantat. Aku mencari kesibukan dengan membaca koran, kadang diselingi memandang sekitar. Di sisi jalan, tatapanku ikut terhenti seperti kendaraan ini. Aku melihat anak kecil bertopi merah sedang berjalan bersisian dengan wanita paruh baya, saling bergandeng tangan. Kurasa mereka adalah cucu dan nenek. Seketika aku teringat masa kecilku 21 tahun silam.

***

"Kenapa desa ini tidak ada mata airnya, Kek?" Aku memperhatikan kakek yang sedang terampil menyalakan kayu bakar untuk membakar jagung muda. Kulit tangannya sudah keriput. Mulutnya komat-kamit menjelaskan pertanyaanku. Pertanyaan seorang cucu berusia delapan tahun.

Aku ingat sekali, waktu itu kemarau di kampungku sedang jaya-jayanya. Tiap liburan sekolah di hari Minggu, aku biasanya ikut kakek dan nenekku ke kebun atau ladang. Bila musim penghujan tiba, kebun dan ladang kakek akan berubah nama menjadi sawah.

"Konon, dulu sekali, ada seorang nenek berburuk rupa, bajunya kumal, bau tak sedap, dan menjijikan singgah ke desa kita. Ia telah berjalan teramat jauh. Tenggorokannya kering karena menahan haus berjam-jam, napasnya tersengal. Berhentilah ia di kampung kita."

"Nenek itu kenapa, Kek?" Aku memperbaiki posisi duduk, menyila di atas rumput kering. Api dari dahan kayu menyeruak mengeluarkan asap. Beberapa kali aku pindah posisi menghindarinya agar mata tidak pedih. Kakek yang terbatuk beberapa kali tertawa melihat tingkahku.

"Nenek itu minta air minum kepada salah satu warga. Persediaan air di tempat minumnya habis. Tetapi warga kampung justru malah berlarian menutup pintu. Dari balik jendela, berseru memaki dan mencemooh nenek tua itu."

"Berseru seperti apa, Kek?" Aku tambah penasaran. Kakek terbatuk lagi terkena asap. Nenekku yang sedang memetik kacang panjang beberapa langkah dari kami tersenyum. Senyum yang menentramkan jiwa.

Saat itu sawah kakek yang hanya seperempat hektar ditanami tanaman palawija, seperti jagung, kecambah, pelus, dan timun suri. Mendengar kata jagung bakar, aku merengek ingin ikut.

Kebun kakek terletak jauh dari perkampungan, sekitar tiga kilometer. Berbatasan dengan hutan jati dan aliran sungai dari Waduk Malahayu. Sepanjang perjalanan, nenek akan terus berkata pada petani lain yang lewat, bahwa, "Inilah cucuku yang paling cantik dan pintar, Kinaraku sayang."

Aku memang cucu pertama dari anak nenek yang pertama. Wajar saja jika nenek sangat menyanyangiku. Nenek berasal dari Desa Malahayu. Desa tinggi yang punya jalan berkelok-kelok. Bahkan letak rumah-rumah di sana tidak serapi di dataran rendah. Ada yang di hulu, ada juga yang di hilir. Maklum, desa nenek berada di bukit pegunungan panjang, berhawa dingin. Jika aku bertandang ke perkampungan nenek, aku selalu menyempatkan diri berkunjung ke waduk yang amat luas, Waduk Malahayu.

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang