Bab 14

143 3 3
                                    

"Bergegas, Pak Ihsan. Kita harus tiba di kantor pak bupati tepat waktu. Beliau berpesan agar kita sampai di lokasi sebelum pukul sembilan, sebelum ia melakukan pertemuan dengan tamu lain." Aku menjinjing tas dengan seberkas amplop coklat di tanganku membuka pintu mobil.

Pak Ihsan menyalakan mesin mobil sedan putihku. Ketar-ketir karena bangun kesiangan.

"Maaf ya Non, semalam saya terlalu asyik dengan teka-teki silang yang hampir saja selesai. Tidak dipanaskan dulu mobilnya, Non? Nanti kalau mogok di jalan bagaimana?" Pak Ihsan melirikku.

"Kita tidak punya banyak waktu, Pak. Jalan sekarang!"

Pak Ihsan menurut. Menarik pedal gas dengan kecepatan tinggi. Semoga saja perjalanan menuju Brebes tidak ada hambatan sedikit pun. Dan semoga saja mobilnya tidak merajuk lantaran dengan kasar aku menyuruhnya melesat tanpa pemanasan terlebih dulu.

"Kita sarapan di Brebes kota saja ya Pak Ihsan,"

"Siap, Non. Lagipula saya belum terlalu lapar," jawabnya.

Sebentang harapan semakin memberiku titik terang. Seperti biasa, hampir semalaman tidurku tak nyenyak. Selalu penuh dengan pikiran-pikiran tentang perhitungan dana yang kubutuhkan dalam pengeboran besar-besaran nanti.

Teleponku tiba-tiba berdering. Mungkin ini Ganjar, pikirku. Namun aku terlonjak kaget melihat nama yang tertera di layar ponselku.

"Selamat pagi, dr. Kinara," sapanya dari ujung telepon.

"Pagi," jawabku singkat.

"Saya hanya mengingatkan bahwa besok malam dokter ada jadwal bedah. Kiranya dokter tidak akan menambah jatah cuti tugas, karena kami tidak punya cadangan pengganti bila dr. Kinara tidak kembali." Salah satu staf humas rumah sakit membuatku tercengang.

Ini hari keempatku menginjakan kaki di kecamatan Banjarharjo. Rasanya terlalu singkat, sementara aku baru saja akan memulai semuanya.

Pak Ihsan bertanya itu telepon dari siapa. Aku tidak menjawab. Suara Pak Ihsan terkalahkan oleh pikiranku yang rumit.
***

Kami tiba di kantor pak bupati setengah jam lebih awal. Sehingga aku bisa mampir ke warung makan tak jauh dari gedung kantor berwarna putih dengan halamannya yang luas itu. Aku nyengir melihat Pak Ihsan yang lahap memakan semua sayur mayur mentah yang disajikan oleh ibu warung. Pak Ihsan bagai kambing yang baru bertemu rumput hijau selama setahun.

Di dalam ruangan rapat, aku, Pak Ihsan, Pak Bupati, dan sekretarisnya duduk di meja bundar.

"Terima kasih sudah sabar menunggu surat balasan dari Pak Gubernur. Ibu Kinara, saya mewakili dinas pemerintah, mohon maaf karena tidak bisa mencairkan dana pengajuan Ibu 100% penuh." Pak bupati mengetuk-ngetuk kecil meja di dekat map biru, seperti sedang berpikir sejenak.

"Begini, Bu Kinara. Pertama, kami juga harus mempertimbangkan proyek jalan tol yang masih terbengkalai. Kedua, kami ingin sekali membantu menyejahterakan Desa Beber yang begitu memprihatinkan seperti yang Ibu ceritakan pada surat beberapa hari lalu. Namun, sekali lagi kami minta maaf. Kami hanya bisa merelokasikannya 10% saja. Bagaimana, Bu? Apakah Anda bersedia menerima?"

Aku menelan ludah. Sepuluh persen hanya cukup membeli paralon dan drum penampung air saja, belum untuk menyewa alat berat, mesin pompa air, upah tenaga kerja manusia, dan ongkos preman.

Dalam otakku, tak ada sedikit pun terlintas pikiran kotor tentang manusia yang berdalih di bidang pemerintahan yang mengambil jatah hak warga untuk kepentingan perutnya sendiri, alias korupsi. Mungkin kau menyangka aku berpikir sepicik itu? Tidak. Aku justru bersyukur, karena pemerintah mau membantu sedikit dana pembangunan desaku yang katanya amat memprihatinkan karena miskin tidak punya air bersih.

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang