Bab 15

178 3 2
                                    

"Megan, hari ini kemungkinan aku pulang malam. Tolong jaga ibu dan jangan lengah. Bila Ganjar datang, katakan aku sedang ada urusan. Datanglah lagi lusa." Aku merapikan kemejaku di depan cermin. Memerintahkan banyak hal pada suster yang kusewa untuk menjaga ibu.

"Baiklah, Dokter muda Kinara. Memangnya Non Kinara mau kemana pagi-pagi begini? Tidak diantar Pak Ihsan?" Megan memicingkan matanya memperhatikanku.

"Tidak, aku pergi sendiri. Ikuti saja apa yang kuminta, Megan. Bila telepon berdering, segera angkat. Sepertinya hari ini aku akan sering menghubungimu."

Megan terpaku di ruang tengah, mengamati langkah kakiku yang cepat menuju mobil. Ia terpogoh-pogoh membukakan garasi, sambil melemparkan sedikit senyum terpaksanya padaku.

"Terimakasih, Megan," sapaku yang langsung melesat pergi.

***

Setelah begadang semalaman di rumah sakit, aku menyempatkan mampir ke rumah untuk mengganti pakaian dan mengambil seperangkat dokumen penting. Dengan menyerahkan surat BPKB mobil sedan tua, pihak bank hanya berani menjamin pinjaman sebesar 50 juta saja. Angka yang terbilang sangat kecil bagi projek besar-besaran yang akan kugarap dalam waktu dekat nanti. Namun, itu sedikit membantu.

Sebenarnya aku ingin sekali menjual mobil ini, tapi aku tidak ingin membuat ibu sedih, juga tak ingin Ganjar iba padaku. Bilapun dijual ke showroom, harga mobil sedan bekas yang kudapat dari dinas kesehatan karena prestasiku, harganya hanya di kisaran dua. Disamping itu, aku juga amat membutuhkan mobil ini untuk transportasi ke sana - ke mari.

Apa aku harus menggadaikan rumah? Tidak. Nanti ibuku tinggal dimana? Lagipula itu rumah belum lunas. Baru 21x cicilan. Seorang dokter muda sepertiku, tidak mungkin langsung kaya secepat yang kalian bayangkan. Aku baru benar-benar bisa terlepas dari kontrakan petakan, setelah berhasil membedah isi kepala ibu. Meskipun aku yang melakukan operasi tersebut, tetapi aku harus membayar separuh harganya. Dan itu angka yang amat besar bagi orang miskin sepertiku. Barulah kemudian aku mengajukan KPR di pinggiran Jakarta untuk tempat bernaung kami yang kucicil per bulan.

"Saat ini aku baru mengantongi 15 % dari anggaran. Itu artinya masih kurang 85% lagi," ucapku lirih dalam hati. Pikiranku terus berputar-putar, memikirkan sesuatu yang berat di otakku.

Di belokan lampu merah, aku memutar setir, mengarahkan laju mobil memasuki perumahan elit di kawasan Pondok Indah. Dita sahabat SMA-ku yang bekerja di koperasi, mungkin bisa meminjamkan dana tambahan. Itulah kenapa aku melajukan mobil sedan tuaku ke sana.

Namun setibanya aku di sana, Dita menekukkan wajahnya. "Kinara, maafkan aku tidak dapat membantumu. Uang koperasi sedang defisit. Para peminjam uang belum mengembalikan pinjamannya. Bersabarlah, karena aku pun tak tahu kapan uang akan memenuhi buku tabungan lagi."

"Sedikit pun tidak ada, Dit? Aku sangat membutuhkan bantuanmu. Ayolah, tolong sahabatmu ini yang sedang kesusahan," getir, aku mengemis pada Dita. Kalau boleh jujur, aku lebih baik menjadi penjual koran di lampu merah ketimbang harus memohon seperti ini.

Dita tetap menggeleng. Dengan tangan kosong, aku kembali menemui sahabat semasa kuliahku. Tanpa basa-basi, aku langsung ke topik inti; "Citra, aku tidak bisa janji kapan akan mengembalikannya padamu, tapi aku akan berusaha semampuku untuk mengembalikannya secepat mungkin," ungkapku memelas.

"Kinara, kau jangan gila. Darimana aku punya uang sebesar itu? Aku hanya punya celengan ayam, isinya logam lima ratusan perak. Paling kalau dibongkar hanya terkumpul dua ratus ribu. Kau ini ada-ada saja," Citra menggeleng-gelengkan kepalanya.

Lagi-lagi aku harus pulang dengan tangan kosong. Setelah dari rumah Citra, aku mencoba menyambangi kawan dekatku yang lain di daerah Ciputat. Namanya Lena. Seingatku, ayah Lena merupakan kepala kesenian Betawi yang terkenal namanya di dunia jagat hiburan ibu kota.

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang