Bab 17

147 5 0
                                    

Setiap kali usai belanja dari Pasar Banjarharjo, Kak Fatin selalu menyempatkan diri mampir ke rumah Kak Eli. Di hari ke tujuh progresku, ia membawakan makanan ringan berupa kue cucur, sate kikil, cilok, dan jajanan lainnya yang dibeli dari Pasar Banjarharjo.

"Dulu waktu masih anak-anak, kita gemar sekali makan kue-kue seperti ini. Kita harus mengenangnya, Kinara, Eli..." Kak Fatin mengunyah dengan lahap satu kue onde-onde di tangan kanannya.

Kak Eli menyantap lahap cilok berukuran besar-besar. Sedangkan aku asyik bernostalgia dengan sate kikil yang dibumbui kelapa muda dan bumbu kunyit. Warnanya kuning dan baunya sedap. Sudah lima belas tahun aku tidak makan jajanan khas ini, namun kelezatannya masih sama. Sungguh nostalgia yang membahagiakan.

"Eh, tapi kita dulu kemana-mana berempat,"

"Iya, sama Iin. Tapi dia belum pulang dari Malaysia. Andai saja kita bisa berkumpul berempat seperti dulu,"

"Pasti seru sekali," tuturku yang merasa kehilangan sosok Kak Iin - si pendiam. Berdasarkan informasi yang kudapat dari Kak Fatin, sudah dua tahun Kak Iin merantau di Negeri Jiran. Suami dan anaknya ditinggal bersama keluarga besarnya di Beber. Keterpurukan ekonomi membuat ia harus rela menjadi TKW di negeri orang.

Seperti yang pernah kujelaskan sebelumnya, warga kampungku mayoritas perantau. Hasil jerih bertani tidaklah cukup untuk biaya kehidupan sehari-hari. Yang laki-laki menjadi kuli bangunan di Jakarta, sebagian menjual tahu gejrot di kota Kembang. Dan yang perempuan kebanyakan menjadi pramu wisma, yang mana uang hasil pekerjaannya dipakai untuk membantu orangtua di desa.

Selain merantau di dalam negeri, masyarakat Dukuh Beber merantau ke negeri orang. Negara yang sering dituju, yakni Arab Saudi dan Malaysia. Rata-rata mereka menjadi TKW minimal dua tahun dan maksimal seumur hidup. Kalau si suami tidak sabaran, bisa saja tanpa sepengetahuan istri, dia akan menikah lagi dengan perempuan lain. Anak yang ditinggalkan, hidup tak terurus karena nenek dan kakeknya sibuk ke sawah.

Jika dia perawan, tak jarang pulang membawa oleh-oleh kehidupan, seorang anak hasil buah cintanya dengan majikannya. Desas-desus yang beredar, anak itu adalah bonus selain gaji. Alias setelah dipakai, dibuang begitu saja. Sungguh tragis nasib TKW dari kampungku.

Bila kebanyakan perempuan perantau bekerja sebagai pembantu rumahtangga, namun hanya Kak Iin satu-satunya wanita yang bekerja menjadi buruh mebeul di negeri orang.

"Kita dulu sering ke bukit, membawa banyak sekali makanan, dan mendendangkan lagu lagu India. Kita menari dan bernyanyi bersama di sana. Lucunya bila mengingat itu semua." Kak Eli terbahak. Aku dan Kak Fatin ikut tergelak tawa.

Aku masih ingat dan akan selalu ingat. Dimana setiap libur sekolah dulu, kami iseng bermain ke bukit dan ladang milik orang. Membawa radio kuno dari batu baterai yang digantungkan ke leher, menari-nari di tengah padang ilalang, berceloteh ngaler-ngidul tentang indahnya hidup masa kanak-kanak, membicarakan Kusin yang suka melamar Kak Eli yang kini sudah almarhum, membahas upacara bendera yang lagunya belum habis tapi bendera sudah sampai puncak tiang, semua itu sungguh menyenangkan.

"Kinara zaman dulu persis preman. Galak. Nunu sampai tak berani bertemu denganmu. Hahaha." Kak Fatin memukul meja. Terbahak dengan ucapannya sendiri.

"Kak Eli sering dilamar Kusin, dan selalu menolak dengan memberikan persyaratan asal ada kambing hijau," kataku diiringi tawa meledak-ledak.

"Dan Fatin sering jatuh dari sepeda. Lihatlah ini, kenang-kenangan yang tak akan kulupa saat kau memboncengku dan terbalik di jembatan Kubanglingke." Kak Eli menunjukkan pitak besar di lututnya sambil terpingkal-pingkal.

Semua berderai tawa. Tika dan Tati mengintip dari tirai. Bingung melihat orang-orang dewasa di ruang tamu seru membahas sesuatu. Pak Ihsan sedang sibuk dengan TTS-nya di belakang rumah yang langsung menghadap ke sawah.

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang