Bab 12

234 3 0
                                    

Gedung balai desa yang berdiri sederhana di tengah rumah penduduk, terlihat lengang. Rumput hijau yang terpangkas rapi di halaman, dengan tambahan bunga-bunga kecil berwarna merah, memadukan warna cat putih pada dinding yang usang.

Aku melangkahkan kaki ke teras berplester semen, sedangkan Pak Ihsan memarkirkan mobil di bawah pohon mangga, tak jauh dari pagar. Di kampungku, hampir setiap rumah memiliki pohon berbuah dengan biji dikotil seperti mangga.

Penerima tamu menanyakan maksud kedatanganku. Matanya sinis menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Aku risih mendapat perlakuan seperti itu berulang-ulang. Namun kalau bukan Kinara, bisa saja aku membentaknya untuk tidak memandangiku seperti hantu di siang bolong.

"Aku ingin bertemu dengan pak kades," tukasku sesopan mungkin.

Wanita berseragam coklat yang sebenarnya bukan seragam itu mengatakan bahwa kepala desa sedang tidak bisa diganggu karena ada rapat penting. Ia memintaku untuk datang lain waktu. Tapi, aku bersikeras untuk tetap menunggu hingga sore atau malam hari kalau perlu, asal bisa bertemu dengannya. Sekali lagi, wanita bersanggul itu memintaku pulang karena katanya acaranya berlangsung seharian.

"Saya tidak punya banyak waktu untuk bolak-balik ke desa ini, Bu. Saya tahu pak kades orang penting dan selalu sibuk. Saya tahu Ibu pun sibuk. Hanya pengangguran yang tidak sibuk. Maka izinkan saya untuk menunggu atasan Anda yang sibuk itu di sini. Karena saya terlalu sibuk dengan Anda yang merasa sibuk."

Penerima tamu itu melipat mukanya. Agaknya ia sedikit kesal dan tersinggung dengan ucapanku barusan. Tak lama, rombongan berseragam coklat keluar, berbicara kencang dan terbahak membicarakan soal kayu jati. Seandainya wanita itu tidak membuatku jengkel, tentulah aku tidak perlu membalikkan kata-kata kasar tersebut padanya.

"Loh, ini siapa? Tidak diminta masuk ke dalam, Asih?" Pak Kades tersenyum ramah padaku dan Pak Ihsan yang duduk di selasar kayu di bawah pohon mangga.

"Anu, Pak, mereka mau bertemu Bapak. Tadi saya bilang suruh menunggu di dalam, tapi mereka tidak mau."

Pak Ihsan mencibir, "Tadi kami diminta kembali lagi besok, karena Pak Kades sedang tidak bisa diganggu. Sedang rapat penting dengan pihak otonomi daerah, katanya,"

"Saya pikir rapatnya akan seharian, Pak. Maaf saya tidak tahu. Tadinya saya pikir mereka bisa datang lagi besok, karena pasti menunggu itu tidaklah menyenangkan," Wanita berseragam coklat yang dipanggil 'Asih' oleh pak kades menekuk mukanya, malu.

Kedua mata Pak Kades menyelidik plat mobilku yang berhuruf B di depannya.

"Kamu seharusnya lihat plat mobilnya dulu, Asih. Mereka jauh-jauh dari Jakarta bertandang ke mari pasti punya alasan yang tak kalah pentingnya dengan pejabat negara. Lain kali kau harus bersikap sopan pada setiap tamu yang datang, baik yang kau kenali ataupun orang asing."

Asih mengucapkan permintaan maaf. Aku tidak menjawab. Pak Ihsan yang membuntutiku di belakang, juga tak menjawab.

Pak kades mempersilakan kami masuk ke ruangan kecilnya. Aku mengajak serta Pak Ihsan untuk menjadi saksi pembicaraan. Dalam kasus ini, supir pribadiku berhak tahu apa yang akan kubicarakan dengan pak kepala desa nanti.

Di ruangan berukuran tidak besar dan tidak terlalu kecil itu, aku duduk bersandar pada kursi kayu. Pak Ihsan duduk di sebelahku, menatap foto prsiden dan wakil presiden yang ditengahi oleh burung garuda dengan wajah bingung.

"Anda baru tiba dari Jakarta?" tanya pak kepala desa.

"Kami tiba semalam, Pak." Jawabku.

Lelaki berwajah tembem itu mengangguk.

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang