Belum tuntas sidang pertama dari Bi Nurfi dan Uwa Latif, warga berduyun-duyun mendatangi rumah Bi Nurfi sambil berteriak-teriak menyebut namaku. Dipimpin satu suara bernada tinggi yang amat kukenali. Tidak pelak lagi, itu suara nenek Surya. Dalam orasinya mengatakan, "Usir Kinara dari Beber. Perempuan ini tidak lain adalah seorang pelacur,"
Bukan main perihnya perasaanku saat itu. Seperti terlecut tali yang terbuat dari bara api. Pedih, panas, menyakitkan.
"Ini desa kelahiranku. Aku berhak tinggal di sini kapanpun kumau. Kalian tidak boleh seenaknya mengusirku begitu saja. Apa dasarnya kalian mengusirku?"
"Kau sudah berzina dengan cucu kesayanganku, Kinara. Pantasnya kau dibakar hidup-hidup. Atau dilempari batu sampai tubuhmu berdarah-darah,"
Dadaku seperti terpukul batu tajam mendengar kalimat itu. Sungguh hina fitnah ini. Aku berani bersumpah 'Demi Tuhan' kalau aku tidak melakukan hal senonoh seperti yang mereka tuduhkan. Oh, Tuhan, hukumlah aku jika kalimat itu benar adanya.
"Baiknya kau angkat kaki dari sini, Kinara! Sebelum warga menghabisimu," celetuk nenek Surya yang tak mau berhenti berbicara, lebih tepatnya menguasai pembicaraan, memprovokasi warga dengan nada berapi-api.
Aku yang tidak terima, melontarkan pembelaan diri. "Dengarkan aku, Nyonya terhormat. Apa yang Anda ucapkan ini tidaklah benar. Kau hanya menjadi korban hasut."
"Sudahlah, tak perlu mengeles lagi, Kinara. Dari dulu kau memang pembawa sial. Semua orang di desa ini sudah tahu kalau kau terus mengincar cucuku, memoroti hartanya. Dasar perawan tua tidak tahu malu. TELEMBUK!"
Apa? Pelacur? Astaghfirullahal'adzim, aku mengelus dada. Demi Tuhan lagi, aku bukanlah wanita pelacur seperti yang dia katakan.
"Wahai, Nyonya haus kehormatan, baiknya kau ayak lidahmu dengan halus. Pedas sekali kau memitnahku seperti itu. Baiklah, aku akan angkat kaki dari sini. Tunggulah pembuktianku. Aku akan membuatmu menyesal. Camkan kata-kataku!"
Terlanjur sakit hati, aku berlari menuju kamar Bi Nurfi yang selama dua malam terakhir menjadi tempat berteduhku di Desa Beber. Aku segera mengemasi barang-barangku ke dalam koper, meminta Pak Ihsan menungguku di mobil.
"Kau hendak kemana, Kinara?" Bi Nurfi dan tiga anaknya menghadangku di pintu kamar.
"Pergi, Bi. Aku tidak kuat lagi mendengar hujatan menyakitkan ini. Kini aku paham, bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Mereka merusak citra nama baikku, Bi. Menuduhku tanpa alasan." Aku menyeka air mata yang banjir di pipiku.
"Dengar, Kinara, kalau kau benar, maka tinggalah di sini. Jangan lari dan menghindar, karena jika itu kau lakukan, maka mereka justru tambah percaya kalau tuduhan itu benar."
"Tapi aku sudah tidak tahan mendengar tudingan tak mengenakan itu, Bi. Lambat laun aku akan membuktikan kebenarannya."
"Lantas kau hendak pergi kemana?" Tanya Bi Nurfi penuh simpati.
"Aku tidak tahu, Bi. Yang jelas melangkahkan kakiku dari sini. Kinara akan kembali." Aku bersalaman pada Bi Nurfi. Menitip salam untuk nenek, Bi Luni, dan Wa Latif yang sedang menemui Surya di balai desa.
Aku terlonjak kaget saat membuka pintu mobil sedan tuaku. Di dalam, Kak Fatin tersenyum penuh arti padaku.
"Lekas masuk, Kinara. Aku akan membawamu ke tempat yang aman. Tadi ketika Pak Ihsan membuka pintu mobil, aku memaksa masuk." Ungkap Kak Fatin yang kujawab dengan tatapan datar.
***
Kencangnya embusan angin menggoyangkan pepohonan akasia yang berbaris rapi di sepanjang jalan, menggugurkan daun-daunnya yang kering, lantas daun-daun kering itu beterbangan kemana-mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESA TERKUTUK
RomancePotongan kenangan masa kecil itu, membuat Kinara semakin mantap membalaskan dendam pada orang-orang yang pernah menyakiti hatinya. Ia pun berniat membawa pergi nenek tercintanya dari desa terkutuk yang selama ini membesarkannya. ~ Cerita ini terins...