Bab 18

131 5 2
                                    

Tak sadar rasanya sudah 14 hari aku tinggal di Desa Parereja dalam misi membalaskan dendamku di rumah Kak Eli. Aku mengemasi barang bawaanku mengingat jatah cutiku sudah habis. Tetapi di waktu yang sama, Surya memohonku untuk tidak pergi lantaran ada kasus penting yang harus dituntaskan.

"­­­­­­Warga mengamuk, Kinara. Ada seseorang yang menghasut progres kita. Bagaimana semestinya aku bersikap? Aku tidak bisa berpikir jernih. Disaat yang bersamaan, istriku menggugat cerai."

Aku menghela napas. "Tapi aku tidak mungkin membiarkan nyawa orang lain bergantung padaku, Surya. Aku harus kembali ke Jakarta,"

Langit di luar gelap. Bukan malam, melainkan mendung. Tampaknya sebentar lagi hujan akan turun. Tapi bukankah ini masih musim kemarau? Namun kilatan patah-patah di langit sebelah utara seolah berkata musim penghujan ingin bertamu sebentar.

Angin yang bertiup kencang, membuat Kak Eli mengunci pintu. Aku sudah siap berangkat, namun sekali lagi kakiku tertahan. Beberapa hari terakhir, Surya memang pernah bilang padaku bahwa ada satu-dua warga yang tiba-tiba menolak untuk ditanam pipa besar di sekitar rumahnya. Aku percaya Surya pasti mampu menyelesaikannya. Tapi kian hari semakin banyak warga protes dan hendak menghentikan proyek yang sudah kepalang tanggung berjalan ini.

"Aku mengerti persoalanmu, Surya. Tapi aku hanyalah dalang, tak mungkin menampakkan diri di depan layar." Aku menggigit bibir bawahku. Bingung.

"Begini saja, Kinara, kau pikirkan dulu sejenak. Sambil menunggu langit terang. Aku tidak ingin terjadi apa-apa padamu di jalan. Mungkin ini pertanda kau untuk tetap tinggal di sini sampai masalahnya kelar." Kak Eli yang semula menjadi pendengar baik, memberikan saran.

Pak Ihsan yang duduk dekat jendela, melirik sekilas jalanan yang mulai terguyur hujan. Kencangnya angin membuat dahan dan ranting pohon akasia bergoyang. Derik bambu di samping rumah Kak Eli menyerukan bunyi ngeri. Aku menelan ludah. Jangan sampai tanah yang sudah dikeruk, terbawa air hujan dan memasuki pipa-pipa besar. Itu cukup merepotkan, pikirku.

Berkali-kali bagian humas rumah sakit meneleponku, namun tak kugubris. Ibu dan Ganjar pun sudah berulang-ulang menghubungi, aku abaikan. Lenguhan burung camar membuat hatiku berkecamuk tak keruan. Apa yang mesti kulakukan? Aku sungguh dalam lingkaran membingungkan. Ingin bicara pada ibu, takut beliau sedih mendengarnya. Ingin membahasnya dengan Ganjar, aku tidak ingin dia kepikiran.

Kulihat Surya memijiti pelipisnya yang berkerut. Ini adalah ideku, dan aku tidak boleh meninggalkannya begitu saja saat masalah pelik menghampirinya. Gara-gara aku, ia digugat cerai istrinya. Gara-gara aku juga, warga menuntut ganti rugi tiga kali lipat. Sedangkan aku tidak bisa berbuat banyak. Dana dari pinjaman bank, pak bupati, ayah Evelin, sudah tak bisa diganggu gugat lagi. Ini saja kuhemat sedemikian rupa agar uangnya cukup hingga proyek selesai.

"Pulanglah, Surya.. Izinkan aku merenungkannya. Aku tidak akan meninggalkanmu seorang diri. Aku bukan pecundang yang menyerah begitu saja sebelum perang. Kau ingat, dulu saat kita masih remaja, saat kedua orangtuaku bercerai, kau selalu bilang padaku, bahwa semakin tinggi suatu tempat, semakin kencang pula angin bertiup." Kataku lirih membalikkan ucapan Surya tiga belas tahun silam.

Telepon dari pihak rumah sakit kembali berdering. Aku tidak mengangkatnya. Ganjar pun tak kalah sibuknya menghubungiku. Aku tidak menjawab. Hingga akhirnya ia mengirimkan pesan sms bernada kurang enak, "aku ingin bertanya kapan kau pulang ke Jakarta?"

Sekali lagi, aku tidak menjawabnya. Kedua tanganku terlalu gemetar untuk mengetik walau satu huruf. Apakah Ganjar marah? Entahlah, aku tidak tahu. Dan tidak ingin tahu. Yang kini ingin kuketahui, bagaimana caranya meredamkan amarah warga dan menghentikan hasutan orang yang tak bertanggungjawab? Aku belum tahu. Dan akan mencari tahu.

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang