Bab 22

136 6 0
                                    

Hujan di bulan November telah mengguyur basah tanah coklat, dahan pohon mangga, bunga kumis kucing, dan padi di pesawahan kampung kami. Di jendela tak berkaca, aku mengintip debit air yang turun begitu deras, membuat volume jelumbang rumah meluber hingga ke beranda. Ketika masih kanak-kanak dulu, aku, Kak Fatin, Kak Eli, dan Kak Iin, sering bermandi hujan bersama. Berlari dari rumah satu ke rumah yang lain, tertawa saat air menimpa kepala dan badan kami, bertengkar dengan Nunu dan anak laki-laki yang mendahului kucuran dari atas genting.

Selain bersendagurau, kami tak lupa menadahi air hujan dengan ember besar untuk keperluan mencuci. Semua ini dilakukan karena air dari sumur tak layak pakai. Keruh macam susu coklat. Biarpun kotor dan keruh, namun tetap saja ada sebagian warga yang mandi dan mencuci pakaian serta perabotannya menggunakan air kiriman dari lumpur sawah dan hutan gundul tersebut.

Begitu mirisnya kehidupan kami selama ini tanpa cakupan air bersih yang memadai. Harga yang mahal dan jauhnya tempat pengambilan, membuat kami hidup prihatin. Beda cerita setelah proyek PAM rampung, warga tidak perlu lagi repot-repot membeli air dari gerobak keliling atau pun mengambilnya secara langsung ke desa Cigadung, Kubanglingke, Tiwulandu, maupun Cihaur menggunakan jerigen yang diselipkan di sepeda ontel.

Aku kembali merinding ketika mengingat susahnya membuang hajat saat musim kemarau melanda. Waktu remaja, acapkali hujan turun lebat seperti ini, aku selalu senang karena bisa jongkok di depan rumah, mengandalkan payung untuk mengeluarkan kotoran dari usus besarku. Tak ada manusia yang berlalu-lalang di luaran rumah ketika hujan deras mengguyur. Aku merasa merdeka, tidak perlu menumpang di empang Pak Eman ataupun ke semak-belukar di tengah hutan yang kering-kerontang.

Sewaktu Bi Leha dirujuk ke rehabilitasi penyuluhan psikologis di kota provinsi, aku meminta Mang Udin untuk memperbaiki rumah nenek yang bisa dibilang sangat memprihatinkan. Gentingnya banyak yang bolong, plester semennya amburadul bercampur tanah dan pasir, bilik di belakang terbuka, sehingga bila hujan turun, keadaannya bagaikan kandang bebek. Becek. Dari tabungan pribadi yang tersisa, aku memanfaatkannya untuk membuatkan kakus kecil. Kakus pertama yang ada di Desa Beber. Para tetangga kadang menumpang membuang hajatnya di kakus nenek. Aku tidak melarang. Tidak juga memungut biaya sepeserpun.

Sedangkan sisa dana pembuatan PAM, kuserahkan pada Surya selaku kades guna pembangunan jalan. Selama proses penyerahan, kami tidak banyak bercerita lantaran segan pada Ganjar dan Pak Ihsan yang ikut masuk ke dalam ruangan. Untuk ke depannya, biarlah Surya dan Wa Latif yang mengurus PAM tersebut. "Bila berbayar, mohon tarifnya jangan mahal-mahal, kau pahamlah kemampuan ekonomi warga Beber," kataku mengingatkan Surya.

Surya tersenyum. Bagaimana pun juga, dana PAM ini tidaklah murah, namun pada saat pemasangan, kami hanya memungut dana sukarela agar seluruh lapisan masyarakat Dukuh Beber dapat menikmatinya. Dan selama Ganjar bersamaku, tak ada lagi surat menyurat yang datang, tak ada lagi sapaan hangat dari Surya. Bila berpas-pasan dengannya di jalan, lulurung, lapangan bola, pekarangan rumah, dan di manapun berjumpa, Surya hanya melemparkan sedikit senyum. Tampangnya murung. Aku yang canggung, mencoba membalas senyum aneh itu. Senyum yang terlihat terpaksa dan dibuat-buat.

Seekor katak melompat girang dekat kubangan. Mengoyang-goyangkan rumput yang mulai tumbuh seiring musim penghujan. Aku tertawa memperhatikannya yang salah tingkah, berkoar mencari teman. Lina, Mafa, anak Bi Luni, dan anak-anak sepantaran lainnya berkejaran dari gerujugan satu ke gerujugan berikutnya. Terbahak. Masa anak-anak yang indah, gumamku.

Sebelum meninggalkan kampung halaman, aku memang sengaja membiarkan ibu berlama-lama menyambangi saudara dan kerabat dari rumah ke rumah. Kadang aku ikut, kadang tidak. Pak Jimi dan keluarga besar pesantren seperti Qiayi Khusnul, Wak Fiah, Ceu Euis, dan Kak Ilham, sempat singgah ke gubug nenek, berkata bahwa mereka tak menyangka anak didiknya yang dulu nakal, kini menjadi anak yang cerdas. Mereka bilang bangga padaku karena berhasil mengeluarkan Desa Beber dari keterpurukan air bersih.

Nenek dan ibu Surya yang terkenal baik di depan dan jahat di belakang, seketika menangis di hadapan ibu. Ia meminta maaf telah menggunjingkan keluarga kami selama ini, mengucapkan terima kasih karena tempo hari aku telah menolongnya saat ia kejang-kejang.

"Kalau saja Kinara tidak ada, mungkin aku akan stroke selamanya, Heti... Haturnuhun pisan nyak, Maafkan kesalahan orangtua ini," ungkapnya padaku yang entah itu tulus atau tidak. Di dunia ini, ada banyak manusia yang bersandiwara tentang isi hatinya. Cukuplah Tuhan yang Maha Tahu. Semenjak kehadiran ibu, beliau sering mengunjungiku di rumah nenek, menyapaku lembut, memberikan makanan dan buah-buahan untuk ibu. Ia juga memintaku untuk menjadi istri Surya secara terang-terangan di hadapan Ganjar. Astaga, kenapa pula harus di depan tunanganku yang beberapa bulan lagi menikah? Umpatku sedikit kesal.

Jauh hari, aku sudah banyak berkisah pada Ganjar tentang masa laluku bersama Surya dan segala kenangan manis-pahit lainnya. Aku juga memintanya untuk tidak khawatir atas semua kemungkinan yang akan terjadi. Ganjar mengerti. Ia mengelus rambutku dan mempersilakanku pergi. "Jadilah yang terbaik untuk ibumu, Kinara.. Temuilah orang-orang yang kau sayangi di sana. Aku memercayaimu," ucapnya lirih ketika aku menyampaikan maksud kepulanganku ke kampung halaman.

Bagiku, Ganjar adalah kakak, ayah, sekaligus teman yang asyik. Sikap wibawanya mirip sekali dengan Surya. Hatiku menciut bila harus membandingkan dua laki-laki itu. Sesungguhnya aku masih mencintai Surya, meski mungkin kadarnya tak sebesar dulu. Jika harus memilih mana yang terbaik, kurasa ini pilihan yang sulit. Memilih masalalu dengan Surya, atau menjalani masa depan bersama Ganjar? Masing-masing memiliki kelebihan yang sama besarnya. Aku mengigit bibir, menatap jelumbang di depan rumah nenek yang semakin meluber ke halaman.

Debit air yang deras dan percikan hujan yang lebat, membuatku tersadar bahwa kemarin sore, pihak rumah sakit menghubungiku, bertanya apakah urusanku sudah rampung atau belum. Aku menjawab sudah selesai. Kepala rumah sakit memintaku untuk bergabung kembali dengan tim medis lainnya. Tenaga dokter di rumah sakit bedah memang terbilang minim. "Kami membutuhkanmu, dokter Kinara. Pulanglah dan kembali bekerja menjadi dokter andalan," tegasnya padaku di seberang telepon. Aku sedikit tidak percaya. Tapi inilah faktanya.

Orang baik pasti akan mendapatkan yang terbaik atas segala yang sudah dikorbankan dan diperjuangkannya, Kinara... demikian perkataan mendiang sahabatku - Evelin saat menemaniku berjualan koran di lampu merah.

***

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang