Ketika Surya sedang seru-serunya berorasi di depan publik, mengucapkan terima kasih banyak atas gotong-royong dan keringantanganan warga yang sudah membantu, baik berupa dukungan moral mau pun material, mobil sedan yang dikemudikan Pak Ihsan, menepi di pinggir pohon mangga, diiringi langkah Kak Eli dan dua anaknya – Tika dan Tati.
Ganjar yang memarkirkan mobil Rush di samping sedanku, membukakan pintu mobil, menuntun langkah ibu. Aku mengiringinya dari belakang diikuti Megan.
Lautan manusia yang khidmad mendengar sambutan dari pak kepala desa, spontan menengok pada suara mobil dan langkah kami. Mereka terpana dan heran melihat wajah ibu. Kak Fatin bilang, banyak yang mengira ibu tak pernah pulang ke Desa Beber karena gila dan tidak punya umur panjang, alias sudah meninggal.
Surya turun dari panggung, sambil memegang miknya, ia menyambut kehadiran kami, menyilakan duduk di bangku barisan paling depan, yang sengaja dibiarkan kosong.
"Selamat datang, dokter Kinara, dan keluarga. Kami sudah menunggu sedari tadi. Mangga atuh calik," pak kades melempar senyum. Aku merasa amat tersanjung.
Semua pasang mata saling pandang. Ada yang berbisik bertanya siapa. Ada yang bertepuk tangan dan berseru memanggil namaku keras sekali sambil cengengesan. Ada pula yang berseru sebal tidak suka.
"Nara, Kinara.... dokter Kinara... Aku Nunu, musuh bebuyutanmu. Hehehe..."
"Huuuu...." warga yang keberisikan mendengar teriakan laki-laki berkemeja kusut, menoyor kepalanya, "Gandeng, sia.."
Aku yang merasa namanya disebut, mencari arah suara. Mengamati beberapa kepala manusia yang bejibun memenuhi lapangan balai desa Cigadung.
Kak Eli yang duduk di sampingku, berbisik dan menunjuk lelaki bertubuh kurus memakai caping ala peternak bebek, "Tentulah kau tahu siapa dia. Si pembuat onar," katanya sembari tertawa jahat.
Aku ikut tertawa. Nunu, aku rindu melemparmu dengan pecahan batu bata dan penggaris papan tulis, gumamku dalam hati sambil tersenyum.
"Hadirin sekalian pasti bertanya-tanya siapakah tamu yang baru saja datang. Dialah wanita perkasa yang dibalik layar menjadi pencetus pembuatan PAM."
Warga riuh bertepuk tangan.
"Dokter muda Kinara, majulah..." kata Surya menatap mataku.
Bi Leha yang sejak awal tidak menyukai kehadiranku, memasang wajah kecut. Saat yang lain bertepuk tangan, dia bersedekap dan membuang air liur ke dekat kakinya. Saat warga menyebut namaku, dia menggelengkan kepala, membuang muka. Hal yang sama dilakukan oleh nenek Surya yang duduk di barisan pinggir sebelah kiri.
Surya menyilakanku maju ke panggung untuk memberikan sepatah dua patah kata. Aku meminta persetujuan ibu dan Ganjar. Keduanya mengangguk, "Majulah..."
Di barisan kedua, Kak Eli, Kak Fatin, Wa Latif, Bi Nurfi, dan Bi Luni ikut mendukung, "Ayo maju, Kinara,"
Gugup, aku mencoba meghela napas. Kulihat satu per satu wajah yang terasa asing. Dipojok kiri, nenek Surya dan keluarga besarnya mencibir. Raut wajah Bi Leha semakin masam seperti cuka. Dan nenek, dia tersenyum sumringah. Senyum yang mampu melebur rasa gugup dan benciku pada orang-orang yang tidak menyukaiku.
Aku memegang gagang hitam, memastikan sebuah benda pelantang suara sudah dalam posisi menyala.
"Saya mengucapkan terima kasih pada semua yang ada di sini. Karena kalian, saya pulang ke desa yang sudah tiga belas tahun saya tinggalkan. Saya mencintai desa ini seperti mencintai ibu saya, nenek saya, sahabat-sahabat saya, alam dan tanahnya, semuanya. Sebab itulah saya berdiri di sini, saat ini. Mewujudkan mimpi mustahil saya sejak kecil, untuk bisa mengeluarkan air dari bawah tanah sebagai sumber kehidupan. Nyatanya saya tidak berhasil. Saya bukanlah Tuhan yang bisa mengeluarkan air zamzam dari perut bumi, dan tidak dapat mengubah takdir-Nya sebagaimana letak geografis struktur tanah yang sekarang kita pijak ini. Tapi saya memutar otak, berpikir bagaimana caranya agar mimpi semasa kecil saya terwujud, yakni merasakan jernihnya sumber mata air murni yang selama beratus-ratus tahun diperoleh dengan membelinya dari desa tetangga."
KAMU SEDANG MEMBACA
DESA TERKUTUK
RomancePotongan kenangan masa kecil itu, membuat Kinara semakin mantap membalaskan dendam pada orang-orang yang pernah menyakiti hatinya. Ia pun berniat membawa pergi nenek tercintanya dari desa terkutuk yang selama ini membesarkannya. ~ Cerita ini terins...