Bab 8

288 5 1
                                    

Kicau burung yang bersahutan membangkitkan semangatku. Kokok ayam jago berkali-kali terdengar merdu bak alarm yang diulang-ulang. Listrik di rumah sudah mati sejak pukul 05:30 WIB. Hari ini kebetulan ibu dan ayah sedang menjengukku di kampung halaman selama beberapa hari.

Aku selalu senang jika ibu berada di desa. Tanpa menimba air lebih dulu, jambangan sudah terisi penuh. Maka, aku tidak perlu repot-repot lagi menimba air untuk mandi pagi.

Di ufuk timur, matahari sudah menyembulkan cahaya hangatnya. Sisa embun manja yang menggelayut di rerumputan, mulai menguap ke langit, menyeruakkan wangi petrichor yang khas, bau tanah.

“Sarapan dulu, Kinara. Jangan lama-lama berdandannya. Hari semakin siang. Nanti kau telat tiba di sekolah.” Ibu yang menyapu ruang tamu dengan sapu injuk, berteriak dari ruang tamu.

Aku menyaut dan berlari kecil mengikuti perintah wanita yang amat kucintai setelah nenek itu. Sarapan yang disiapkan ibu adalah nasi putih, sayur tahu, dan mirong. Ya, mirong merupakan lauk kegemaranku yang tak boleh terlewatkan.

“Nara berangkat ya, Ibu, Ayah…” Aku mencium punggung tangan kedua orangtuaku, berpamitan.

“Kau jangan bertengkar lagi dengan anak laki-laki di sekolah, Nara. Ingat, kau ini perempuan.” Ibu mengusap rambutku, memberikan sebotol minuman sebagai bekal di sekolah.

“Aku hanya membela diri, Ibu. Mereka yang usil menjailiku. Aku kesal. Kalau aku salah, itu bukan sepenuhnya salahku. Aku tidak suka digoda. Juga tidak suka laki-laki yang menyebalkan.” Aku melambaikan tangan dan mengucap salam sambil berlari.

Ibu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Anak perempuannya ini memang nakal. Pasti ibu tahu dari nenek kalau belum lama ini aku berkelahi dengan teman sekelasku. Namanya Sutera. Ia menjatuhkan bangku ke kepalaku. Saat itu hari Jumat, semua murid dari kelas satu sampai enam mengadakan kebersihan sekolah secara serempak. Mulai dari halaman depan, kebun, halaman belakang, hingga ruang kelas. Anak laki-laki ditugaskan menaikkan bangku ke atas meja, sedangkan anak perempuan menyapu bersih lantai.

Walaupun aku tahu Sutera tidak sengaja menyenggol bangku, yang kemudian menimpa kepalaku saat aku sedang mengeguk air di bawahnya, dengan ganas aku menghajar ia kencang-kencang ke kepalanya menggunakan botol minumanku. Sutera hanya diam tidak melawan. Wajahnya merah, seperti menahan rasa sakit.

Aku juga sering bertengkar dengan kakak kelas laki-laki, terutama Nunu, satu kelas dengan Kak Eli. Dia gemar sekali membuatku marah. Tanpa segan, aku mengejarnya sambil membawa penggaris panjang, lalu memukulinya tanpa ampun. Kadang, aku juga melemparnya dengan pecahan batu bata yang ada di halaman sekolah.

Nunu tidak pernah melawan, sama seperti Sutera. Tetapi, tatapan matanya yang selalu ngeles, membuat amarahku meledak-ledak. Hari ini bilang maaf, esok lusa mengulangi kesalahan yang sama. Sungguh membuatku geram.

Tak hanya Sutera dan Nunu yang menjadi mangsaku siang itu. Kakak kelas dua tahun di atasku juga pernah menjadi korban keganasanku. Sebut saja si Bule nyasar alias rujak petis. Ia sekelas dengan Kak Iin.

Setiap pelajaran kosong dan tidak ada guru, pekerjaan Titis adalah mengintipku di lubang pintu. Apalagi kalau bukan jahil menggodaku. Namun, bukan Kinara namanya kalau tidak protes. Maka, hari itu juga aku langsung melabrak ke kelasnya. Bilang kalau aku tidak suka diintip-intip. Memangnya tidak ada pekerjaan lain selain mengintipku, hah???

Apesnya, kelasku bersebelahan dengan si Bule nyasar. Aku risih jika harus berhadapan dengannya di lubang pintu pembatas itu. Melihat kulitnya yang putih saja aku sudah merinding. Perang dingin pun tak kuasa dihindari. Aku bertengkar dengan Titis di kelasnya, disaksikan oleh seluruh siswa kelas enam. Jika Kak Iin tidak melerai, mungkin akan berbuntut panjang.

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang