Sepuluh 😰

1.4K 81 2
                                    

Mayang PoV

Aku melihat Mahesa menyendiri, duduk di bawah pohon di atas bukit kecil, wajahnya nampak lelah dan murung. Aku berlari ke arahnya, dan mendaki bukit dengan mengandalkan kedua kakiku yang tak lagi sempurna sejak empat bulan yang lalu. Mahesa yang menyadari kedatanganku beringsut bangkit dan mengulurkan tangannya untuk memberiku bantuan secara gratis.

"Gak usah," aku memyembunyikan kedua tanganku ke punggung menolak bantuannya, dan dengan perlahan mendaki bukit kecil itu. "Ini kan bukit kecil," kataku lagi.

"Iya, lo kan udah mendaki banyak, udah jalan jauh. Takutnya lo jatuh gua yang repot entar."

Lalu kami duduk di bawah pohon, tempat tadi Mahesa duduk.
"Kan lo bilang selama gua sama lo bebas, gak akan merasa cacat,"

Mahesa terdiam, menatap mataku, seolah menyelaminya. Apa ucapanku ada yang salah? Tidak kan? Dia sendiri yang bilang, dan aku cuma copy-paste ucapannya. Setelah cukup lama, aku menggibaskan tanganku, dan nyaris saja mencolok kedua matanya.

Dia mengerjap lalu berdecak.
"Mentang-mentang dapet bodyguard ganteng dan super baik yang ngebebasin! Ngelunjak." Dia membenarkan posisi duduknya.

Aku diam. Lihatlah, dia memakai celana hitam dan seragam kemeja putih yang tangan panjangnya ia lipat-lipat sampai sikut. Mungkin karena aku kurang waras jadi aku melihatnya begitu khas dan mempesona, meski wajahnya sudah lusuh.

"Gua takut aja kena masalah kalo lo kenapa-napa," katanya menggerutu, sambil menydarkan kepalanya pada batang pohon dengan santai.

"Takut banget ya punya masalah sama Adam?" kutanya, sambil ikut bersandar di batang pohon, di sebelahnya agak menjorok ke samping.

"Bukan cuma Adam, tapi tuh!" Mahesa menghendikan dagunya ke arah Pak Wawan, wali kelasku yang memang mendadak seperti ikut-ikutan mengistimewakanku karena kekurangan kaki kananku ini.

"Alah! Pak Wawan!" Aku lalu diam dan meniliknya. "Kenapa Ca? Lo kok murung?" Meski sedikit ragu untuk mengucapkannya tapi ternyata aku berhasil.

"Karena pemurung gak pernah memperlihatkan kegembiraannya," ucapnya.

Aku merengut, itu jawaban yang tidak menjawab. Ia tersenyum, dan aku berbisik dalam hati supaya jantungku tau situasi, ini hutan, perbukitan, tidak akan ada rumah sakit yang mampu menangani kalau sampai ia putus. Dan tidak lucu, kalau alasannya karena senyuman seseorang.

Dia masih menatapku, menunggu aku mengerti mungkin, tapi nyatanya aku tak mendapatkan pemahamam dari maksudnya. "Beda sama pemulung, kalena pemulung tidak pelnah memepelihatkan kegembilaanya," sambungnya, ternyata ia mengutip puisi Joko Pinurbo.

Aku lantas tertawa dan meninju bahunya pelan-pelan.

"Lo ketawa?" tanyanya.
Aku mengangguk tidak bisa menjawab karena masih ada sisa-sisa tawaku.
"Njir! Tertawa di atas penderitaan orang lain."

Seiring pudarnya tawaku, aku menatapnya geli, "makanya jangan galau, jadi gua ketawa gak akan jahat kesan yang lo dapet."

"Gak nyambung lo," katanya.

Dan aku terdiam, tak mengerti ucapannya. Gaya bicaranya itu memang terkadang akan sulit dipahami bagi beberapa orang normal.

"Ya kan lo ketawa, lo ketawa di atas penderitaan gua. Maksudnya, lo ketawa bikin gua menderita."

BILURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang