Dua puluh enam

845 51 0
                                    

Mayang.

Ibu Nawang membukakan pintu lalu senyumannya berkembang ketika melihatku. "Akhirnya... pacar Eca dateng," ujarnya. Aku sedikit merasa malu, pasalnya aku yang datang sendiri. Tapi, kan diundang juga sih sama Bu Nawang. Aku menghehe kikuk, "Apa kabar bu?" Oh! Ayolah formal sekali, aku sangat gugup.

Bu Nawang merangkul pundak ku dan membuatku terkejut. "Baik Nak, ayo masuk." Dia membawaku melewati frame pintu dan menyuruhku duduk di sofa. "Kamu sendiri?" lanjutnya.

"Aku, baik Bu."

"Tunggu ibu panggilin Eca," baru saja bu Nawang hendak pergi, Mahesa muncul sambil menggendong Cindy yang menangis. "Eh orangnya dateng."

"Kan Abang bilang jangan diem di bawah meja," Mahesa bersungut-sungut sambil menyerahkan Cindy pada bu Nawang yang kini terlihat bingung apa yang terjadi.

"Kenapa?" tanya bu Nawang sambil menyeka air mata Cindy.

"Tangannya keinjek. Suruh siapa diem di bawah meja. Kan gak tahu."

"Uuhh... tayang, Cicin nya nakal sih, udah jangan nangis malu tuh sama Kak Mayang." Cindy menoleh padaku, sontak aku tersenyum pada gadis lucu itu.

"Eh! Ada orang," ujar Mahesa ketika melihatku, kemudian dia duduk di sebelahku.

"Cicin sini, kakak bawain martabak strawberry kesukaan Cicin." Rayuanku membuat anak imut berhenti merengek dan meminta turun dari pangkuan ibunya.

"Yaudah main ya... Mama mau ke Bu Wulan dulu bawa pesenan." Cindy mengangguk dan menghampiri.

"Pesenan apa ma?" tanya Eca. Sedangkan aku mulai membuka kotak kertas Martabak. Bu Nawang yang sudah berdiri di beranda dan menaiki motor kembali menoleh. "Kue kacang buat Ayah. " sahutnya.
"Mayang, ibu tinggal dulu ya," ucapnya kemudian padaku.
"Iya bu,hati-hati." Sahutku. Ibu Nawang kemudian melaju meninggalkan pekarangan rumah.

"Enak ya?" Kuusap kepala Cindy yang sedang berdiri sambil menikmati sepotong martabak. Dia mengangguk setuju. "Sini makannya duduk." Aku mengangkatnya dan mendudukannya di antara aku dan Mahesa yang sekarang ikut mencomot sepotong martabak. Mereka mirip sekali, cuma Cindy jauh lebih cantik dan menggemaskan dibanding abangnya.

Aku melirik kolor Hello Kitty yang masih dikenakan Mahes, lalu terkekeh geli. Sontak dia melirik ke arahku, "seneng?" katanya dibuat sinis.

"Banget! Kawaiiiii..." kucubit pipinya. Dan Mahesa mendengus.

"Cicin, liat celana abang gambar apa?" kataku sambil menunjuk salah satu gambar Hello Kitty di kolor Mahesa. Cindy berusaha menelan martabak dimulutnya untuk menjawabku. "Eo Citi!" sahutnya. Lalu terkekeh. "Kek cewek abang," lanjutnya. Aku tertawa. Sepertinya Cindy baru menyadari.

"Ini celana kak Mayang," sahut Mahesa yang juga sibuk sambil menikmati martabak.

"Napa abang pake?" katanya.

"Karena boleh."

"Boleh, napa boleh?"

"Karena boleh artinya nggak nggak boleh."

Cindy diam menatap abangnya seperti termangu. Aku terkekeh lalu mencubit pipi bakpawnya. "Lucuuuuu!" Cindy tertawa geli sambil menghindari tanganku. "Cicin suka Hello kitty apa Dora?" Anak itu menatapku, mata dan bulu mata lentiknya begitu sama percis seperti milik Mahesa. Dan membuatku iri.

"Citi! citi!" sahutnya.

"Kenapa gak Dora?" tuntutku, aku turun dari sofa dan duduk di lantai, menopang wajahku dengan tangan yang bertum pada sofa.

"Mmmm..." Cindy bergumam memikirkan sebuah alasan kenapa dia menentukan Hello Kitty ketimbang Dora.

"Karena Dora itu resek!" Mahesa mewakili jawaban dan tidak disetujui oleh Cindy. "Nggaaaak!" teriaknya.

BILURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang