Dua puluh delapan

828 48 1
                                    

Mahesa.

Apa yang dikatakan Elang membuatku benar-benar merasa tepukul, dia juga membuka surel-surel kepadaku sebagai bukti. Aku merasa sangat tidak tahu diri. Bagaimana bisa, jika selama ini kakak ku sendiri yang telah menghancurkan kehidupan Mayang. Bukan hanya itu, yang membuatku terkejut, aku dan Elang ternyata sama-sama adik dari Mahendra. Dalam diri Mahendra mengalir darah ayahku dan juga darah dari ibunya Elang.

Takdir menjadika pria itu sebagai kakakku, apakah takdir juga yang membuatnya memutuskanjalan seperti itu?

"Heh!" Aku tersentak. Segera ku masukan benda di tangan ke balik saku jaket. Aku membalikan badan dan kudapati Ayah dengan ekspresi kebingungan. "Ngapain di gudang?" tanyanya.

"Eca kaget, kirain hantu," ujarku berdalih sambil memikirkan alasan yang tepat. "Ini, Eca lagi nyari kabel, barangkali ada." Kembali kugerakan tanganku, berpura-pura mencari sesuatu di dalam kotak kayu berukuran besar tempat biasa Ayah menyimpan barang-barang elektronik tak terpakai.

"Buat apa?" tanyanya lagi.

"Bikin sesuatu, kek rangkaian listrik," sahutku. Semoga Ayah tidak bertanya lagi.

"Ayah punya yang masih bagus, yuk!" Dia melengos, terpaksa aku membuntutinya, dan sesuatu dalam saku jaketku terasa mempunyai beban, menggelitik dadaku, membuatku gelagapan menutupi kehadirannya di depan Ayahku. Setelah menyerahkan kabelnya, aku mengucapkan terima kasih dan menghambur ke kamar.
Ku masukan ke dalam tasku benda tersebut, biar kubawa bersamaan buku perkuliahan besok.

Mengambit tas dan kembali turun ke ruang tengah. Ada rasa terenyuh ketika melihat Ayah, Ibu dan adik ku di sana. Tawa mereka perlahan memudar, mereka menatapku yang sudah siap menenteng tas di punggungku.

"Kemana?" Ibuku bertanya dengan air muka keherenan.

"Kos san temen. Ada praktek besok, aku harus kerja kelompok. Jadi gak boleh kesiangan." Baik, terkutuklah karena telah berbohong. Standarnya masih level rendah dengan apa yang akan aku lakukan setelahnya. Mereka akan sangat menyesal melahirkan kakak beradik macam aku dan Mahendra.

"Abang, beli maltabak yaa..."
Aku tersenyum melihat adik ku yang menghampiriku dengan tatapan memohon sambil menarik jeansku.

Aku berjongkok di depannya. "Gak punya duit abang, minta aja ke Ayah."
Dia melirik kepada Ayah yang memerhatikan tingkahnya.

"Nanti Ayah belikan," kata Ayahku dengan penuh wibawa yang penuh kasih sayang. Tak pernah kurang dia meyanyangi anak-anaknya.

"Abang mau pergi dulu," aku mencium kedua pipi adik ku. Menghampiri Ayah dan Ibu lalu mencium tangan mereka.
"Mah, Yah, Eca pergi dulu."

"Iya hati-hati," kata Ayahku.

"Jangan ngebut-ngebut bawa motornya." Ibuku menambahkan.

Pergi ke apartment Mayang. Kau tahu bagaimana rasanya aku. Mencintai seseorang dengan perasaan bersalah yang cukup besar. Tapi aku ingin melewati hari ini bersamanya. Sebelum akhirnya aku lenyap atau berakhir mendekam di penjara. Setidaknya aku sudah meluangkan waktu untuknya, entah pada akhirnya akan menjadi kenangan manis atau justru menyakitinya. Kuharap kemungkinan pertama saja.

Anggap saja aku ini memang bajingan, anak tidak tahu terima kasih, pacar goblok, tidak apa-apa. Penilaian kalian tidak terlalu menyakitkan dibanding kenyataan apa yang menimpaku.

Pintu terbuka ketika bel sudah kutekan beberapa kali. "Gimana?" tanyanya dengan tatapan penuh harap.

Aku melangkah sambil menghela napas. Kemudian menggeleng lemah.  "Aku janji semuannya akan segera beres." Mungkin tampangku begitu mengekspresikan jika aku lelah dengan alur takdir ini, sehingga ia tak banyak bicara dan malah tersenyum tegar.

BILURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang