Tiga puluh satu

742 41 0
                                    

ELANG

Pergi ke apartment Syamsi untuk mengambil beberapa file data miliku, seperti akta kelahiran, kartu tanda penduduk, dan dokumen-dokumen lainnya untuk melengkapi persyaratan agar secepatnya bisa di ACC dan aku bisa segera pindah ke luar negri. Beberapa hal penting seperti itu sengaja aku titipkan pada Syansi yang sudah seperti kakakku sendiri. Berhubung aku sedikit teledor, sepertinya dia bisa menyimpannya jauh lebih baik. Beberapa hari ke belakang ini juga aku disibukan oleh memenuhi persyaratan mengundurkan diri dari univ. Jadi belum ada waktu juga untuk mengetahui perkembangan kasus Adam. Atau mungkin karena aku sembunyi dari hal itu sehingga menahan semua untuk berkembang,

Setelah mobilku terpakir sempurna, keluar dengan tergesa-gesa, lalu aku menabrak seseorang yang baru saja keluar dari lift sambil terisak.

"Maaf," ujarku.
Perempuan itu mengangkat kepalanya menatapku. "Mayang?”

"Elang..." ucapnya lirih.

"Why? What happen?"

Dia nampak menimbang-nimbang memgatakannya atau tidak. Namun akhirnya dia mengeleng.
"Aku mau pulang," dia segera melengos dengan langkah cepat tanpa menjawab pertanyaanku. Rasa khawatirku tak bisa kuhentikan, mengabaikannya tetaplah sulit, aku lalu mengejarnya.
"Mayang... May..."
"Aku anter!"

Akhirnya dia mau mendengarku dan naik ke dalam mobilku. Kepalaku berputar-putar mencari penyebabnya, juga diselingi perasaan ragu untuk bertanya.
"Ka-kamu kenapa? dan habis dari mana?" tanyaku sedang tatapanku berusaha ku fokuskan ke jalan raya yang mulai padat.

"Abis dari apartment Ali," ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya Mayang berhasil menyentak ku.
"Kamu kan sama Mahes nyelidikin kasus Abang aku Lang." Deg! Kurasa Mahesa juga ada di apartment itu dan sudah menjelaskan semuanya.

"Pasti kamu tahu kan kebenarannya?"

Deg!

Apa Mahesa juga memberi tahu Mayang tentang orang tuaku? Mayang menangis sepertinya karena dia tidak terima bahwa kakak ku--maksudku Mahendra telah membunuh Adam. Reaksi pada Mahesa saja dia sampai seperti ini? Lalu bagaimana denganku yang bukan orang yang dicintainya?

Tapi kurasa dengan maunya dia kuantar pulang sepertinya Mahesa tak menceritakan semuanya.

"Iya aku tahu. Tapi bagian itu sepertinya Mahesa lebih berhak ngasih tahu kamu."

"Iya aku paham."

Jadi lebih baik kuceritakan atau tidak bagianku?

.
.
.

Sepanjang perjalanan aku menimbang-nimbang dalam hati antara jujur, atau pergi begitu saja. Kami hanya diam dengan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya kami sampai di apartment Mayang.
"Makasih Lang," nyaris dia membuka pintu namun kutarik tangannya untuk menahannya pergi. Sejurus Mayang menatapku merengut.

"Sebenarnya, ada yang harus kamu tahu, mengenai hal yang lainnya." ucapku seraya melapaskan tanganku darinya.

"Maksud lo? Apa?"
"Lo neybunyiin sesuatu juga dari gua?"

Butuh beberapa detik untuk akhirnya aku mengangguk mengiyakannya. Dia menghela napas, lagi-lagi dikecewakan. Tentu saja, dia sudah banyak mnederita. Dan aku harus jujur, meski bayarannya sangat besar bagiku. Tak papa. Itu sepadan.

"Kematian orang tuamu, aku tahu siapa pelakunya."

Mayang diam menyimak, mencoba mendapatkan pemahaman arah pembicaraanku. Atau mencari alasan  kenapa aku harus ikut merasa bingung akan hal ini. Atau berusaha membangun benteng dari rasa kecewa yang akan menyerbunya lagi.

"Siapa?" lirihnya.

"Ayah dan Ibuku." Rasanya lidahku terbakar dan perihnya sampai ke ulu hati. Untuk pertama kalinya, aku menahan diri, agar tidak meneteskan ait mata di depan seseorang yang begitu spesial.

Dia terdiam menatapku dengan kerutan cukup dalam di antara alisnya seolah tak percaya.

"Sorry..."

"Fuck!" Dia mengumpat sejuru kemudian turun dari mobilku dan menutup pintunya dengan sangat keras. Aku pun segera turun, tapi Mayang telah berlalu, berlari begitu cepat ke dalam lift. Sedang aku merasa tidak layak untuk mengejarnya. Untuk apa? Untuk meminta pengampuanan atas nama orang tuaku? Tentu saja tidak mungkin!

Rasa bersalah, penyesalan--yang mungkin tidak dirasakan oleh orang tuaku seolah mereka timpakan padaku, aku juga ditekan rasa kecewa pada mereka dan pada keadaan ini, semua keruh mencampuri perasaanku kepada Mayang.

Dia kehilangan semuanya. Orang tua, kakak, dan sekarang sahabat juga kekasihnya.

"Anjing!"
Kutendang sekeras mungkin pintu mobilku sebagai pelampiasan.

.
.
.

BILURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang