Dua minggu yang lalu kami telah melakukan sebuah transaksi pembelian apartemen dengan bermodalkan sebuah laptop yang Mahesa otak-atik. Aku ingin mengerti teknis pengerjaannya, tapi otakku ini cukup idiot untuk paham. So, aku menonton saja.
Lalu kami pergi menuju apartemen baru kami. Aku masih keheranan, sementara Mahesa fokus menyetir dengan senyum kemenangannya. Dan saat itu aku kesal melihatnya. Dia tidak mau menjelaskan.
"Wait, wait, wait, I can't accept your damn sweet smile." Mahesa terkekeh mendengarku. Aku benar-benar bingung. Coba cari dalam google, cara membeli apartemen dengan harga yang tidak masuk akal untuk seseorang yang baru saja lulus sekolah. Tak masalah jika ayahmu seorang raja atau presiden. Tapi aku dan dia bukan konglo merat.
Mahesa tersunging. "You'll be my wife, so... why?!" katanya. Membuatku senang sekaligus kesal. Aku bukan istri matre. Dan aku punya cukup malu.
"Gua masih bingung, lo dapet uang dari mana keboo?" Panggilan untuknya di kalimatku juga sebagai pernyataan bahwa, dia terlalu malas untuk jadi pekerja keras dan menghasilkan uang bermiliaran.
"It's not my money. Yah untuk otakmu aku beri kalimat penerang standar, 'aku membobol ATM."
"Wh-what?! Are you a hacker then hacked a bank?" Aku terkejut dan itu bukan drama.
Dia tertawa. "Be calm! ATM abangmu, itu pencurian tapi tidak termasuk mencuri. Itu hakmu."
Jadi selama ini Abangku dan Mahesa berkecimpung di bisnis sejenis dark net? Cyber crime? Oke. Itu persepsiku yang pernah menonton film sejenis dark-web.
"It's fun! Right?" Dia menoleh ke arahku yang masih melongo. "A sin always fun to do."
Aku memutar bola mataku, lalu memijit keningku yang berdenyut. "You're too baffling for me." Sahutku. Mahesa tertawa, lalu merangkul pundakku. Membiarkan kepalaku jatuh ke pundaknya dengan kenyamanan.
"Sepadan." Gumamnya.
.
.
.Untuk uang makan sehari-hariku dia tidak mau menggunakan sisa uang di ATM kakakku, katanya biar disimpan saja untuk biya nanti aku kuliah nanti. Aku sudah request kampus yang cukup terjangkau, tapi dia mau mengusahakan agar aku kuliah di tempatnya. Kampusnya cukup elit, dan aku akan merasa tambah jadi beban. Jadi aku beralasan ingin menenangkan diri dulu dan masuk kuliah tahun depan.
Sisa uangnya memang tidak banyak, jadi dia akan kerja untuk menambahnya. Dan tentu aku keberatan. Dia harus fokus kuliah. Aku takut ibunya malah merasa aku menganggu, tapi dia tidak mau mengerti ketakutanku. Aku akhirnya menegaskan kepadanya kalau aku bisa kerja sendiri. Aku bilang jika dia tidak usah terlalu memanjakan aku seperti apa yang Adam lakukan dulu. Aku bisa, aku dewasa dan tidak selemah yang ia pikirkan. Akhirnya dia setuju dengan syarat jam kerja tidak terlalu lama dan tidak membuatku kelelahan. Kerja mana yang tidak lelah, kupikir. Tapi kuiyakan saja agar tidak semakin runyam. Iya, kami sempat cek-cok karena berbeda pendapat.
Dari sekian banyak lamaran kerja yang kubuat, akhirnya ada satu yang lolos.
Dan ini hari ke tujuh aku bekerja jadi pelayan di sebuah cafe-resto. Hanya sebagai pengantar makanan dan bersih-bersih, dimana gajinya lumayan sesuai UMR dan terdapat tiga pergantian jam kerja. Dan minggu ini adalah minggu terakhir aku di jam bagian kerja malam. Mahes belum tahu, aku belum memberi tahunya. Karena minggu ini dia sibuk dengan orientasi mahasiswa baru di kampusnya. Dan aku juga jarang pegang ponsel.Setelah bersih-bersih untuk closed dan briefing sebentar, kami segera tutup membubarkan diri. Kubuka celemet hitam yang kupakai dan menyimpannya ke brangkas milik ku. Aku akan pesan gojek dari uang makan yang kudapat perhari. Melelahkan tapi rasanya senang. Aku merasa bebas.
KAMU SEDANG MEMBACA
BILUR
Teen Fiction"Tuhan mengirimkan kamu, sebuah paket yang diletakan begitu saja di depan pintu usang." Mayang: Kalau udah kenal banget... Eca itu... banyakin sabar pokonya!! Mahesa: Mampu mengalihkan gue dari titik fokus, dasar cwek freak!