Lima 😳

2K 106 2
                                    

Mayang

Iya, menjadi yang terdekat, berarti harus siap juga untuk memiliki kemungkinan akan menjadi yang paling jauh.

Caramu, kamu buatku gundah dengan caramu. Lalu kau mulai seperti tercandu oleh hadirku, seperti begitu pula aku teradiktif. Namun kau pasang batas.
Kemudian kau meluapkan segalanya ke dalam diriku, seperti mengisi air pada botol lalu menutupnya. Tanpa ingin tahu bagaimana keadaanku yang sesam. Mengancamku dengan jarak atau penghancuran jika seandainya penghiantan aku lakukan.

Aku hanya diam menatap dan mendengarnya, tak tahu apa yang harus kukatakan. Orang bilang bingkai mimpimu, lalu gantung setinggi mungkin. Tidakah ingat, jika ada gravitasi di bumi ini? Mimpi itu bisa jatuh dan terpecah-belah.

Baru saja mimpiku remuk, bersamaan dengan setiap kata yang ia ucapkan.

Pujianmu terhadapnya, rasa cintamu kepadanya, menimbulkan perbandingan antara siapa aku dan dia.

Zabarjad dan Zamrud... pernah kau dengar kisah itu? pelayan dan Sang Pangeran. Rumus perbandingan dalam cinta.

"Cuma lo yang tau cerita lengkapnya," ujarnya dengan tatapan menerawang yang masih tertuju pada kepulan kopi. Keningnya mengerut. Aku harus berhenti menebak apa yang ada di dalam sana, karena tidak lain adalah hal yang membuatku semakin sakit, sebuah nama. Adara.

Aku tidak boleh terlihat mendadak kaku, aku tidak boleh canggung. Teman, jadilah teman yang baik baginya. Menghela napas dan kuraih coklat dingin punyaku lalu meminumnya.
Ingin kutanya, kenapa dia memilihku untuk mendengarkannya. Tapi... itu takan baik. Dia hanya butuh telinga yang mendengar namun bibir yang diam. Dan aku siap. Asal dia merasa nyaman dan senang.

"Awas lho ini rahasia!" Katanya, lalu ekspresinya kembali menerawang.

"Iya! Iya!" Sahutku.
"Udah gak usah galau kali ah!" ujarku.

Dia beralih menatapku, perlahan satu sudut bibirnya terangkat. Yakinlah, tujuh miliyar senyuman di dunia, senyuman makro miliknya adalah favoritku.

"Gua udah nunggu nyaris dua jam, terus denger curhatan lo," lantas dia menatapku serius, seolah penasaran apa yang akan aku paparkan. "Harusnya traktir jangan di Forxoc dong! Luxiz dong!"

Dia mendengus lalu menyeruput kopinya. "Jadi temen tuh jangan itungan! Kewajiban sesama manusia adalah saling membantu, mahluk sosial kan?"

"Capek deh! Kalau Mahesa Abimanyu udah so iyeh!" ledek ku berapi-api kesal.

"Hahaha!" Lihatlah tawanya. Ada yang pernah melihatnya selain aku? Mungkin Bumi? Reno? Ali? Atau Jingga? Apa pernah mereka juga melihatnya. Apa ada gadis lain yang pernah diajaknya duduk di kafe, bersama langit sore dan minuman favorit. Katakan Mahesa Abimanyu, aku temanmu ini ingin tahu.

"Bagusan di sini kali," ujarnya. Aku hanya memerhatikan gerak-geriknya sedang memerhatikan sekitarnya.

Aku ikut memerhatikan ke sekelilingku. "Senja," ujarku berdiri dan menepi ke pembatas rooftop. Aku menoleh ke meja sebrang kiri, sepasang kekasih yang tengah mengobrol. Dan setelah mengamati sekitar ternyata memang dipenuhi pasangan. Baru saja aku mengeluarkan ponselku untuk mengabadikan rona senja, Mahesa sudah berdiri di sampingku. Ia memgambil photo dari pemandangan langit yang menjingga.

Mahesa melirik dengan senyuman khasnya. Entah! Aku tak ingin tahu apa yang ada dipikirannya. Untuk kali ini, mau hal manis yang ia ucapkan atau gerak-geriknya yang seperti pangeran dalam penantian, itu semua hanya bisa membuatku merasakan perih di hati.

"Addicted!" serunya diakhiri kekehan, lalu tatapanya kembali ke arah langit.

Tiba-tiba notif pesan masuk dari line terdengar.

Bumi
Sianju yang lagi ngedate, kiww!!

Mayang
Ngedet P.A pala lo-_-
Atit dede mas!

Bumi
Wah? Kenapa?
Diapain?

Mayang
Mikirnya jangan kemana-mana mas😩

"Ekhem!" Aku tersentak, menoleh ke arah Mahesa yang ternyata sedang menatapku entah sejak kapan.
"Siapa? Gebetan?" Aku merengut. "Seru banget keknya," lanjutnya.

"Kevo!" kataku. Sebagai bentuk menghargainya kusimpan kembali ponselku tak peduli pada bunyi balasan pesan masuk.

"Siapa eh?" tanyanya penasaran sambil menyenggol bahuku.

"Don't kepo-kepo oke!" Aku balas menyenggolnya.

"Njir! Bodo amat sih!"

"Yaudah!"

"Pulang yuk!" Tanpa aba-aba dia menarik tanganku dan membawaku pergi dalam tuntunannya.

Tanganku di dalam genggamannya harus protes kah? Atau aku biarin? Kalau aku diem, dia nanti nyeletuk. "Cie yang enak dipegang..." ah! Mahesa kan gak kek Bumi, mana mungkin.

"Gua tahu, jomblo emang butuh tuntunan," ujarnya tiba-tiba. Lebih nusuk dari yang kupikirkan. Segera saja kitarik tanganku darinya.

"Lo tuh jombs! Pegang-pegang tangan cewek seenak jidat."

"Hahaha!" Mahesa tertawa. Kenapa dalam beberapa jam ini, aku merasa semakin familiar. Tawa itu... menjadi sering kudengar.

Ia naik ke atas motornya. Lalu aku duduk di boncengannya.

"Lo? Gak bawa motor?" tanyanya seperti seolah aku tidak boleh duduk di jok motornya. Bayangkan bagaimana rasanya jadi aku.

"Tadi dianter Adam ke sini," sahutku, so' nyantai walau sebenarnya gedek.

"Terus, kenapa pulang sama gue?" katanya.

Kujitak pelan kepalanya, hal yang sebenarnya ingin kulakukan sejak beberapa jam lalu. "Njir!" rutuknya sambil mengusap are landing tulang tanganku. "Gak sopan!" Katanya sembari mulai menyalakan motor dan melajukannya.

"Sorry..." kataku berapi-api menyesal, aslinya sih geli pengen lagi.

"Gua sasarin!"

"Gua udah minta maaf..." kataku lagi.

"Ini kepala calon insunyur jendral!"
Aku dibelakng sibuk memeletkan lidah mengejeknya.

"Kepala kesatria Zamrud Andromeda!"

Mataku terbelakak mendengarnya. Dia tau kisah Zabarjad? Oh my goshhht! Rasanya ingin kupeluk dia dan ku remas-remas pipinya.

"Iya maaf, calon imam..." tanpa kuduga ucapanku membuat motornya sedikit meng-rem. "Imam orang lain," sahutku.

"Mantep!" katanya.

"Ca! Gimana bisa lo kenal sama Adam? Umur kakian kan beda 5 tahunan?" tanyaku setelah beberapa lama hening.

"Bilang aja Adam kan udah tua, repot deh!" katanya.

"Jawab deh!" Sergahku.

"Iya deh!"

"Ecaaaaa!"

"Hahahah!"
"Gua nemu dia di suatu tempat tak terduga," katanya lalu terkekeh entah mengingat apa.

"Kek apa aja," komentarku.

"Kalau lo mau tau tanya Abang lo aja, biar gak terlalu kaget."

Bicara selalu ambigu, itulah Mahesa Abimanyu, yang sekarang memacu motornya di sore ini dengan kecepatan lamban. Di belakangnya ada aku, temannya yang... menyanyanginya.

"Oke!" sahutku.

Biar aku lenyap.
Berhening ria dalam diam.
Bersama perkara hati, yang sulit dicerna akal sehat.

.

.

.

"Bang, abang ketemu Mahes di mana sih awalnya?"

"Di Dark web! Jadi rival judi online!"

Mulutku sontak menganga. Benar-benar tempat tak terduga.

Mayang PoV

Cek cerita Zabarjad dan Zamrud alias Jagad dan Raya di profile😄

BILURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang