Enam belas 🤕

1.1K 71 3
                                    

Aku, Bang Adam dan Mahesa pulang hari sabtunya. Seharian aku diam di rumah dilarang ini dan itu kecuali belajar untuk mempersiapkan ujian akhir. Setelah menerima jadwal ujian yang diberikan Elang, aku bolak-balik membaca buku Ekonomi, pelajaran yang dijadwalkan hari senin nanti. Tapi hasilnya seperti biasa. Bodo amat. Aku sudah terbiasa dengan temanku yang satu itu. Remidial.

Dan selanjunya buku itu terebengkalai di dekat kakiku. Aku lebih suka membaca novel daripada buku pelajaran. Dan sayangnya aku sudah kehabisan buku bacaan. Mau beli lagi aku yakin Adam tidak akan setuju. Lagi-lagi caranya aku harus sembunyi-sembunyi.

Tiba-tiba aku mendapat telpon dari Elang. Dia mengajakku keluar. Malam minggu? Aku tanyai dia, apa ada jadwal motor? Dia jawab tidak ada jadwal balapan atau apa pun. Dia hanya ingin bekendara saja denganku. Katanya kalau pun ada bodoh saja kalau sampai dia mengajakku balap dalam kondisiku sekarang. Ya jika kau tau aku sedikit ahli dalam balapan, itu adalah jasanya Elang. Teman kaya yang kukenal sejak SMP inilah yang mengajarkan aktivitas ilegal tersebut.

Aku setuju untuk keluar malam ini, dan sekarang aku sedang menikmati angin yang menerpa pipi dan rambutku, di jok belakang motor gedenya Elang.

Ponselku untuk kesekian kalinya bergetar. Aku merogok untuk melihat si pemanggil. Lagi-lagi nama Mahesa tertera. Aku memotar bola mataku geram, kemudian kembali menjejalkan ponselku ke saku jaket.

Seandainya aku diam-diam tidak mendapati Mahesa bersama Adara tadi sore. Malam ini aku pasti sedang bersamanya seperti janji yang sudah kami buat, untuk pergi malam minggu ke festival pekan raya.

"Eh, kita makan dulu May,” kata Elang. Fokusku kembali terkumpul.

"Iya," jawabku. Elang segera memarkirkan motornya di dekat trotoar.

"Makan di cafe mana nih?" katanya setelah turun dan menyimpan helmnya.

Ada sederet kafe resto, tapi akhirnya aku memutuskan menunjuk stand yang menjual bebek bakar. Elang ikut melihat apa yang kutunjuk, sebelum kembali menatapku ekspresinya mengerut bingung. "Yakin?” tanyanya.

"Tuan putri mana aja yang udah request minta makan di VVIP resto?" tanyaku dengan sarkastik. Elang tertawa dan menggelengkan kepalanya.

"Tuan putri? kan kamu." Dia menaraik tanganku menghampiri stand itu.

Setelah memesan menu, sambil menunggu siap dihidangkan, aku membuka ponselku. 15 panggilan tak terjawab dan chat berupa huruf "P" sebanyak 114 kali dari Mahesa Abimanyu. Aku tidak akan membacanya sekarang. Jadi kuletakan ponselku dan memilih menikmati makan malamku. Bebek panggang, sambal dan kol favoritku.

"Selamat makan!” seruku. Dan Elang terkekeh. "I'll show you the other of me. A monster."

"But I keep, be a lover of you,” sahutnya.

"Iwwwh hahah!"

Setelah membuat Elang terkejut dengan selera makanku yang, ya you know lah mirip cowok kelaperan. Akhirnya aku me-request untuk diantar pulang saja. Walau pun Elang mengajukan beberapa rekomendasi tempat tongkrongan. Tapi aku menolak. Entah, rasanya tidak nyaman saja pergi lama-lama bersama Elang. Dengan cara sudah mengabaikan Mahesa pula. Aku merasa sedang melakukan perselingkuhan. Padahal status hubunganku saja tidak jelas dengan si kebo itu. Ya sudahlah anggap saja teman atau sahabat, walau sudah berciuman secara sengaja juga pun tidak sengaja.

Ketika sampai di jalan raya yang tak jauh dari komplek perumahanku. Tiba-tiba di sebuah belokan lampu merah. Aku dikagetkan oleh kehadiran sebuah motor yang entah sejak kapan menguntitku. Pengendaranya tidak memakai helm, jadi aku bisa melihat jelas betapa tidak enaknya ekspresi yang ia perlihatkan. Meski tidak sampai mengusir daya pikat wajahnya. Tetap saja seram. Inilah Mahesa Abimanyu saat sedang marah.

Dia enggan menatapku dan terlihat marah. Tapi motornya mensejajarkan diri di samping kananku. Aku menatapnya jengkel juga agak bingung. Kemudian dia memberi sinyal dengan menekan klakson panjang sehingga membuat Elang sedikit terkejut. Elang mengurangi kecepatan, kemudian menyisi ke trotoar.

"Ih kenapa berhenti sih!” protesku pada Elang. Elang tak menggubris dia melepas helmnya dan turun dari motor. Menghampiri Mahesa yang juga turun dari motor. Tatapan amarah yang Elang tujukan padanya ia lewati begitu saja. Mahesa malah mengahmpiriku yang masih duduk di jok.

"Nasgor!" katanya ia memberikan sebuah kantung padaku. Belum sempat aku berkata Mahesa melengos kembali ke mengendari motornya. Meninggalkan aku dan Elang yang kebingungan. Tidak. Sepertinya Elang jauh lebih bingung dariku.

"Kenapa sih si Mahesa?!" kata Elang menghampiri dengan sisa-sisa amarahnya.

"Yaudahlah, jangan dipikirin, anter aku balik."
.
.
.
Melamun di dapur dengan pakaian masih lengkap yang kukenakan saat hangout bareng Elang.  Entah sudah berapa lama aku menatap sebungkus nasi goreng di depanku. Kemarin aku janji pada Mahesa untuk pergi ke Festival pekan raya kota dan menikmati nasi goreng favoritku di sana. Nasgor langgananku tiap acara itu diadakan. Tadinya aku merasa puas membatalkan janji sepihak bersama Mahesa. Tapi, membayangkan Mahesa menunggu lama dan tetap membelikan nasgor favoritku, aku merasa bersalah. Tak seharusnya aku seperti itu. Kadang aku menyesal, aku terlalu pencemburu dan aku benci ketika mendapati diriku sedang cemburu, lebih tepatnya keputusan yang kuambil saat sedang cemburu.

Kumasukan kembali bungkus nasgor itu ke dalam kantung bersama sendoknya. Setelah memastikan Adam tidak ada di rumah. Segera aku meraih kunci motor dan jaketku yang bertengger di hanger dan pergi ke garasi. Lalu aku pergi ke rumah Mahesa.

Setelah sepanjang jalan cemas, bagaimana jika Mahesa tidak ada di rumah. Akhirnya aku lega, ketika melihatnya di balik kaca jendela sedang duduk di ruang tengah.

Aku mengetuk pintu, dan yang membuka adalah ibu Nawang.
"Eh, cari siapa neng?" katanya.

"Emm, saya temennya Mahesa Bu..."
"Mahesanya ada?”

Mungkin bu Nawang agak kebingungan melihat seorang gadis datang malam-malam ke rumah seorang anak laki-laki. "Ada, tunggu sebentar Ibu panggilkan dulu.”

Aku duduk di kursi kayu beranda untuk menunggu. Lalu tak lama Mahesa muncul dari frame pintu. Menatapku sekilas dari sana, lalu berdiri tanpa mau menghampiri. Jadi aku yang akhirnya mengalah.

"Ca, maafin gua ya."

"Gua gak masalah," katanya dengan aksen dingin ciri khasnya. Ingin sekali aku protes, kalau gak masalah terus kenapa marah?

"Yaud--”

"Gak masalah seandainya lo ngebatalin dengan alasan jelas. Taunya keluyuran sama cowok laen," imbuhnya menginterupsi ucapanku.

"Yakali gua gak tau kalau lo bakal jadi dateng. Secara kan tadi sore gua denger Adara minta lu anter malem ini,” gak ada lagi cara untuk membela diri selain membocorkan rahasia jika aku diam-diam tak sengaja mendengar percakapan mereka.

Mahesa menatapku, tapi tidak seperti sebelumnya. Sekarang ia sedikit terlihat bingung. Walau wajahnya tetap datar, minim ekspresi, tapi aku bisa merasakan berbagai macam aura yang dia tularkan ke lawan bicaranya.
"Kali aja lo lebih mentingin dia, kan gua gak tahu. Karena yang gua tahu dia penting banget buat lo."

Oke. Apa aku harus terkejut oleh sebelah alisnya yang tiba-tiba terangkat ke atas. Itu akan terlihat normal bagi reaksi manusia lain. Tapi untuk ukuran Mahesa, kurasa aku harus siaga akan apa yang ada dalam pikirannya.

Dia terkekeh pelan, "lo cemburu?” dan terucaplah kata-kata menusuk itu. Stay in control. Menghela napas. Meski bingung harus bereaksi seperti apa, akhirnya aku memelih untuk mendorong pipinya.
"Enak aja!” kataku. Lalu aku kembali duduk di kursi.

Mahesa ikut duduk di sebrangku. Memerhatikan aku yang sekarang sibuk membuka sebungkus nasi goreng yang sudah dingin.

"Keburu dingin kan," kataku berapi-api kesal.

"Salah sendiri," katanya.

Kukeluarkan sendok yang kubawa. "Tapi tetep enak,” kataku setelah memasukan suapan pertama.

Aku menyodorkan sendok padanya, tapi Mahesa menggeleng. "Gua beli buat lo,” katanya. Bersyukurlah ini malam hari dengan pencahayaan neon seadanya, tidak akan memperlihatkan kontrasnya warna merah di pipiku.

"Maacih...." kataku dengan mulut penuh.

Mahesa tersenyum samar dengan tatapan terkunci padaku.

BILURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang