TIGA PULUH EMPAT
Mayang Pov"Mau apalagi membela anak kurang ajar itu, terkutuk!" Pak Abimanya pergi menaiki tangga, meninggalkan ruang tengah. Kuraih bahu Bu Nawang yang makin terisak karena perkataan suaminya. "Ini gara-gara aku Ma, aku yang bikin Eca terjebak masalah kek gini." Aku tak cukup tegar jika berurusan dengan rasa bersalah, seketika mataku memanas.
"Sssst, enggak sayang. Kamu bicara apa. Eca itu belain kamu. Mama bangga dia sayang sama kamu. Cuma caranya saja yang tidak tepat."
Sepertinya membujuk Pak Abi sudah tidak bisa. Jadi hari ini hanya aku dan Mama Nawang yang akan menemani persidangan Mahesa. Dia belum dinyatakan bersalah sepenuhnya sebelum ada bukti yang lebih menyakinkan. Masalah yang kami lawan adalah Ibu dari Mahendra yang memiliki segalanya karena uang. Jadi kurasa cukup sulit.
Aku dan Mama sampai, di kantor persidangan. Tapi kabar kami terima jika sidang diundur dua hari ke depan. Alasannya, entahlah! Rencana apa lagi yang akan dilakukan penutut. Jadi akudan Mama memutuskan untuk menemui Mahesa.
Betapa senangnya Mahesa melihat ibunya datang. Sayang sekali aku tidak berhasil membujuk Pak Abimanyu.
"Mana mungkin Eca bunuh Abang mah." Ujar Mahesa lirih dengan wajah tertunduk. Mama Nawang kembali meneteskan air mata. Dan aku meraih bahunya. Polisi hanya memberi kami waktu lima belas menit. Dan aku ingin Mama Nawang bisa memanfaatkan waktu itu dengan baik.
"Iya sayang, kamu anak laki-laki Mama yang bijaksana. Maaf mama kemarin sempat salah menilai Eca. Mama percaya sama Eca. Mayang aja yang mengenal kamu baru beberapa tahun bisa percaya, kenapa mama ragu. Maafin mama sayang." Mahesa tersenyum. Tangannya kuat-kuat menggenggam tangan Mama. Dan aku senang, dibalik resahku aku cukup lega menikmati pemandangan ini.
"Makasih Ma, Eca sayang Mama. Sangat."
Mama Nawang tersenyum seraya mengusap lembut wajah anaknya.
"Eca kangen Cindy juga Ma."
"Cindy baik-baik aja, kan ada Mayang yang ikut ngasuh." Mama tersenyum melirikkku.
"Iya saya--Ca, kalem ada aku." Ow shit! Menyebut pacarmu dengan panggilan 'sayang' di depan ibunya, aku masih cangggung.
"Waktu habis!"
Dua polisi datang, kami bertiga serentak berdiri."Kamu yang tenang sayang, pasti semua akan terbukti." Yap! Aku setuju dengan Mama, akan kupakai sisa uang simpanan Adam untuk membantu Mama mengewa pengacara.
Mahesa mengangguk. Kemudian tatapannya menatapku sebelum ia dibawa pergi, aku tersenyum.
.
.
.Sebulan berlalu, dan sudah beberapa hari Mama menyruruh ku menginap di rumahnya. Aku sih, selama Pak Abi tidak keberatan aku setuju. Tapi ternyata diam-diam juga Pak Abi menemuiku dan menyuruhku menginap untuk menemani Mama. Sebab akhir-akhir ini Mama bersikap dingin pada Pak Abi, karena Pak Abi masih saja tak mau mendengarkan pembelaan Mama pada Mahesa.
Konflik ini tidak baik untuk pertumbuhan Cindy, jadi kehadiranku sepertinya memang dibutuhkan untuk menemani Cindy. Mama kadang harus berjuang sendiri pergi ke penagdilan. Sebab aku sibuk mengurus Cindy dan Pak Abi sibuk dengan pekerjaannya. Suasana makin dingin ketika Pak Abi lebih mementingkan pekerjaannya. Entah kenapa, dia tidak bisa percaya pada Mahesa sebelum akhirnya dia tidak terbukti bersalah.
Hari ini, Mama pergi untuk membeli beberapa kebutuhan. Pak Abi juga sibuk kerja, makin sibui kurasa. Dan aku di sini, selalu menemani gadis kecil yang kini terlelap di sofa tepat di sampingku. Sayang, dia terkena juga dari dampaknya. Lagi-lagi aku merasa bersalah.
Dengan perasaan penuh sesal kucium pipi tembeb Cindy. Aku menyanyangi keluarga ini, dan aku berharap semua kembali seperti sediakala.
Tiba-tiba bel rumah berdenting. Segera aku berlari membukanya.
Adara?
"Aku ingin kamu pergi," ujarnya tiba-tiba dengan raut penuh amarah. "Pergi dari kehidupan Mahesa."
Aku diam, hanya menatapnya merengut. "Adara, aku tau kamu sedih. Tapi..."
"Apa kamu gak kasian sama anak aku? Gara-gara kamu dia kehilangan Ayahnya! Dan sebab itu Mahesa harus bertanggung jawab."
"Pasti Mahesa udah jelasin, kalau Mahendra itu bunuh di--"
"Aku gak percaya! Selama ini Mahesa memang benci sama Mahendra. Dan Kamu! Kamu gak usah sok tahu!" Suaranya yang keras cukup membuat Cindy merengek. Aku segera menghampiri Cindy dan menggendongnya. Tapi Adara tiba-tiba masuk dan merebut Cindy dariku. Tanganku sakit, Cindy juga sepertinya kesakitan. Dia menangis.
"Kamu pergi! Pembawa sial! Pergi!" Bentakan itu membuat Cindy ketakutan dan merontak ke arahku. Tapi aku didorong oleh Adara sampai nyaris terjatuh.Emosiku tersulut, tapi logikaku menyuruhku untuk bersabar. Bagaimana pun Adara adalah permpuan, dan sedang terluka. "Adara, aku tahu kamu sedih, tapi--"
"Jangan banyak ngomong kamu." Aku terkejut, dia menampar pipiku cukup kera. "Kak Mayang..." isak Cindy fengan ketakutan. "Aku pergi, tapi ku mohon, berikan Cindy Okay?" Aku taku dia melukainya.
"Pergi!" Dia terus mendorongku sampai ke beranda rumah. L Emosi membuat tenaganya makin kuat.
"Kak Mayaaaang, Kak Dala jahat cama Kak Mayang, Cincin benci kak Dala!" Cindy meronta.
"Cicin sayang, ini kak Dara, nggak jahat. Liat km bakal punya keponakan." Adara membawanya pergi masuk ke dalam.
Aku menelpon Mama, untunglah Mama dan Pak Abi segera datang mengatasi masalah.
Benar saja Adara sedikit mengalami tekanan psikis.
.
.
.Hari ini, Cindy ditemani Mama di sekolah, dan sebelum kerja Pak Abi emnyempatkan diri mengantar mereka ke sekolah. Aku sendirian di rumah. Dihantam lagi oleh perasaan-perasaan buruk. Ucapan-ucapan Adara kemarin terngiang di kepalaku.
Aku hendak pergi kamar tamu yang dua minggu ini ku tempati, tapi kakiku tercenug ketika menatap kamar di atas sana. Sebulan sudah pintunya tertutup. Dan dengan tidak sadar, aku sudah berada di depannya.
Kubuka pintunya yang tidak terkunci, berdecit pelan sebelum akhirnya wangi yang familiar dari dalam menyambut indera pembauku. Parfum yang biasanya bisa kucium dan begitu kelas saat aku memeluknya.Apakah bisa aku bertahun-tahun melewati rasa rindu? Bagaimana jika fitnah itu kokoh oleh uang, sehingga Mahesa kalah?
Aku melangkah masuk, kamarnya tertata rapi. Lelakiku yang selalu rapih dan wangi. Buku-buku bacaan, jam dinding, gitar, dan sebuah photo. Aku tersnyum, meraih bingkai photo yang tegak berdiri di atas nakas samping tempat tidurnya. Dari mana Mahesa mendapatkan photo masa kecilku? Dia tempel dengan photo masa kecilnya juga. Air mataku tak bisa kutahan. Kukira dia tak melakukan hal-hal manis seperti ini.
Kuhempaskan diriku ke kasur. Gelisah menyerubung, takut mengahasut, cemas sesak! Dan tangisku tak terbendung. Ulu hatiku diserang segala macam perasaan. Aku rindu.
Kutelusuri setiap sudut ruang kamarnya dan membayangkan dia melakukan aktivitas di sini. Memetik gitar, menghanti baju di depan lemari, belajar di meja. Duduk di karpet. Rasanya aku kehilangan semua itu, meski aku belum pernah menyaksikannya di sini.
Berbalik, tidur menyamping menatap jendela.Sebuah tangan tiba-tiba mengenggam pundakku dari belakang meredakan isakanku. Apakah Mama akan marah padaku, karena sudah tidak sopan begini?
"Maaf Ma, Mayang masuk." Suaraku sengau berpadu dengan isakan. Kulirik tangan Mama yang masih betah dibahuku. Dan, segera aku berbalik kemudian teduduk. Aku menerjangnya, memeluknya erat-erat. Tangisku sudah tak dapat kudefinisikan lagi. Mirip seperti Cindy yanga kehilangan mainannya."Sssst."
"Aku rindu kamu," lirihku.
"Aku tahu. Makanya aku pulang." Dia balas memelukku erat-erat. Kuletakam daguku di bahunya, mencengkramnya dalam kedua lenganku. Dan kutemukan senyuman Mama Nawang, Cindy dan Pak Abi diambang pintu.
.
.
.End
KAMU SEDANG MEMBACA
BILUR
Teen Fiction"Tuhan mengirimkan kamu, sebuah paket yang diletakan begitu saja di depan pintu usang." Mayang: Kalau udah kenal banget... Eca itu... banyakin sabar pokonya!! Mahesa: Mampu mengalihkan gue dari titik fokus, dasar cwek freak!