Semuanya, yang ada di hadapanku terasa menjauh, detik berjalan lambat. Semakin sesak dan buram karena kabut beban ini. Lalu akhirnya aku hanya bisa terkulai lemas ke sofa dengan surat yang masih kugenggam di tanganku.
Semuanya hancur. Hanya bersisa aku, yang mungkin perlahan mati oleh rentetan kejadia ini. Bukan tentang mimpiku, ini tentang Adam. Surat pemberitahuan baru saja aku terima, pemberitahuan mengenai seluruh kekayaan yang Adam tinggalkan harus disita.
Itu artinya aku tidak lagi mempunyai apa-apa. Tidak ada lagi uang untuk membayar penyelidikan kasus Adam dan orang tuaku. Semua otomatis terhenti. Tidak ada lagi rencana kuliah bersama Mahesa. Tidak ada lagi. Tidak ada apa-apa. Hanya aku saja. Entah seberapa besar luka ini, beban ini. Sehingga reaksiku hanya lemas dan diam. Tak ada tangis maupun dendam. Rasanya pasrah, hampa, terserah apa pun itu yang mengatur kehidupanku mau membawaku kemana. Jadi gila? Kurasa itu lebih baik, dari pada bertahan dengan kwewarasan yang membuatku lambat laun ingin meledak. Sayangnya otakku tidak koslet, dan tetap berjalan baik dengan keadaan buruk ini.
Sore ini aku harus segera keluar dari rumah ini. Hanya aku dan baju-bajuku.
Aku bangkit, dan segera mengemasi bajuku ke dalam koper tanpa menunggu sore nanti. Setelah memesan taxi dengan uang terakhir di sakuku, di dalam mobil aku menimbang-nimbang, berhenti di depan rumah Mahesa dengan membawa beban baru kepadanya. Atau berhenti di depan gedung tua, tempat terkahir Kakakku menghilang sebelum akhirnya dibunuh.Untuk apa? Iya, untuk loncat dari lantai teratas. Sepertinya Indonesia membutuhkan berita segar tentang kematian anak pengacara ternama, yang bunuh diri karena kehilangan harapan. Itu lebih baik dari pada mati konyol oleh aku yang berakhir menjadi gelandangan pecandu narkoba.
"Pak, gedung Baritone," kataku kepada si supir taxi. Tanpa sepengetahuan apa yang tergambar di benakku, sang supir menuju tempat dimana aku akan mengesekusi diriku sendiri. Menghilangkan diri dari eksistensi bumi adalah seolah jalan terkahir. Katanya, manusia bisa bertahan karena harapan, dan aku sedang kehilangan harapan itu. Aku tidak ingin menjadi egois hanya dengan tetap bertahan hidup dan membebani satu-satunya orang tercinta yang masih hidup.
Taxi berhenti di depan tempat yang kumaksud lima belas menit kemudian. Tapi beberapa menit berlalu dengan aku yang masih bercokol di kursi belakang sambil menatap lekat-lekat gedung tua itu. Menghela napas, sumpah Ayah, Ibu dan kakakku tidak pernah menanamkan nilai-nilai bodoh seperti ini. Mereka adalah para pejuang yang tangguh. Mampu bertahan dalam keadaan paling buruk. Ayah selalu sabar ketika karir dan namanya tercoreng oleh beberapa orang licik. Ibuku, selalu tabah ketika menghadapi situasi paling sulit. Dan kakak ku adalah pahlawan yang selalu bekerja keras demi hidupku. Dan sekarang, aku mengakhiri semua perjuangan keluaragaku begitu saja? It's so poor.
"Neng, sudah sampai."
Aku terhenyak. "Eh, maaf pak. Ke perumahan Arodrè saja."
Si bapak menganggukan dan kembali menjalankan mobil sesuai perintahku.Sampai, di depan rumah Mahesa. Rasanya, beban semakin memberatkanku. Apalagi mengingat terakhir kali dia sedang marah padaku. Tapi aku mencoba menepis semua perasaan ragu itu. Kulangkahkan kaki menuju halaman rumahnya. Keneradaan mobil membuatku sedikit bertan-tanya. Langkahku semakin mendekat dan kini menginjak teras rumahnya. Terdengarlah percakapan, agak menjorok ke dalam dari ambang pintu. Aku sedikit maju dan bisa kulihat Adara sedang mentap Mahesa lekat-lekat dengan jarak kurang wajar. Entah kenapa secara otomatis membuatku tambah sesak. Sumpah pemandangan itu begitu memuakan. Baru terpikir ternyata begitu sialannya Elang di mata Mahesa. Seperti yang kurasa sekarang.
"Aku hamil, dan kamu malah kek gini Bi?!" katanya dengan suara bergetar. Adara menangis. Dan apa yang ia ucapkan juga membuatku terkejut. Otakku otomatis menyerap informasi itu dan mengolahnya. Aku tahu Mahesa tidak mungkin melakukan hal semurahan itu. Kecuali kalau dia benar-benar tergila-gila pada Adara. Oh shit! Gak mungkin! Adara hamil karena Mahendra. Aku yakin!
Aku akan memberikan waktu agar Mahesa menjelaskan. Aku takkan pergi begitu saja ketuka dia melihatku. Ini bukan sinetron."Itu bukan kesalahan gua. Pergi Ra." Akhirnya suara sanggahan yang kutunggu terucap dari Mahesa. Aku mengehela napas lega. Itu melepaskan satu ikatan bebanku.
Beberapa detik kemudian Adara keluar dari rumah dengan tangis pecah dan sempat menyenggolku. Tapi dia pergi begitu saja. Masuk ke dalam mobilnya dan menghilang.
Beberapa detik kemudian, kulihat Mahesa yang hendak menutup pintu, namun urung karena melihatku. "Yang?" Ucap Mahesa, sedikit tergagu. Mungkin karena terkejut atas kehadiranku.
Aku melangkah ke arahnya begitu pun dia. Jadi kami berdiri di dekat frame pintu.
"A-aku turut berbela sungkawa atas kehamilannya," kataku. Iya terdengar tolol."Biar gua jelasin—”
"Aku gak salah paham, dia hamil karena Mahendra kan?" Kataku menginterupsinya.
Mahesa menghela napas. Lalu menatapku dengan tatapan lebih santai. "Kamu, gak cemburu kan?” katanya sedikit ragu.
"Cemburu," jawabku tanpa berpikir panjang.
"Sorry. Itu yang gua rasain saat gua liat Elang sama kamu." Aku tahu. Sudah kuduga.
"Sorry, biar aku jelasin Ca." Mahesa tak menyahut untuk memberiku waktu mengklarifikasi. "Elang datang tiba-tiba dan ngajak aku ikut touring, aku nolak. Dia marah dan nyalahin kamu. Oke, aku gak suka itu. Selain itu juga masih banyak alasan buat aku nggak ikut. Aku lagi banyak masalah. Kami berdebat lalu Elang maksa mau cium gua." Gua? Karena emosi aku menyebutku dengan hal yang berbeda. Aku kemudian terdiam, memabalas tatapan tenang Mahesa dengan sedikit gelagap. "A-aku lebih cemburu liat kamu deket sama mantan kamu, ketimbang liat kamu deket-deket sama cewek asing. Sekali pun cewek itu misalkan artis cantik." Oke, aku bukan penikmat film, jadi agak sulit menyebutkan satu nama artis yang tenar dan cantik.Mahesa menyungingkan senyum. "Promise to never let it happen for twice." Dia tersenyum. Dan aku sedih, sepertinya senyuman itu akan segera terhapus.
Aku memang cemburu, tapi bagaimana bisa aku marah pada seseorang yang suka rela mau mencintaiku. Aku menatapnya penuh rasa bersalah. Apa jadinya jika dia tahu aku sempat memilih loncat di Baritone. Apa reaksinya? Ketika dia mendapat berita kehamilan Adara dan kematianku dalam satu waktu? Aku mengutuk diriku sendiri, itu akan sangat memukulnya.
Mahesa melirik koper yang sedari tadi tak ia sadari keberadaanbya di belakangku. "Koper?" tanyanya dengan heran sambil merengut menatapku.
"Ammmm, ya! Koper. Isinya bajuku. Aku gelandangan sekarang. Our dream it's over." Sumpah itu perkataan kelewat tenang, tidak ada emosi kesal atau sedih dalam diriku, kemana hilangnya mereka? Yang ada aku merasa bersalah dan malu. Selalu merepotkannya.
"Maksud kamu?” tuntut Mahesa. Dia cerdas. Tapi ucapanku terlalu ambigu.
"Mmm, seluruhnya disita. Rumah dan isinya. Everything. Except Me and My yeah..." Akhirnya emosi itu pulang, berebut merasuki diriku, aku kehilangan kekuatan untuk meneruskan ucapanku. Dadaku sesak, mataku memanas. Jika diteruskan yang ada adalah isakan.
"What?..." Lirih Mahesa. Dia juga tidak bisa berkata-kata saking terkejutnya. Tapi telinganya yang memerah dan urat-urat di keningnya menegang menandakan bahwa ia sangat marah. "Bangsat!" Rutuknya dengan suara geram sambil mengacak rambut. Aku mulai terisak. Seketika itu pula kurasakan pelukan hangatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
BILUR
Novela Juvenil"Tuhan mengirimkan kamu, sebuah paket yang diletakan begitu saja di depan pintu usang." Mayang: Kalau udah kenal banget... Eca itu... banyakin sabar pokonya!! Mahesa: Mampu mengalihkan gue dari titik fokus, dasar cwek freak!