Mayang.
Tepat tengah malam aku keluar dari kamar, karena rupanya perutku sudah tidak bisa menahan lapar. Di dapur, kubuka nakas-nakas dan kulkas. Ada banyak bahan makanan sampai aku bingung harus membuat apa. Pasti kakaku menyediakan semua ini untuk mereka yang bertugas mengurus villa ini. Enak sekali. Berapa kiranya abangku itu menggaji mereka? Aku kira belum pernah diajaknya kemari, tapi sepertinya pernah karena aku tahu seluk beluk villa ini. Ah entah! Ingatanku kan pernah bermasalah.
Jadi yang kubuat yang praktis-praktis saja. Menumpukan salad, tomat, roti keju dan lainnya yang aku suka. Kemudian memotongnya kecil-kecil di atas piring.
Suara debuman dari arah samping membuatku nyaris terpekik, tapi jeritanku seketika tertahan oleh sebuah tangan yang cukup besar. Seseorang membekapku dan aku meronta.
"Sssst... ini gua," suara yang familiar itu seketika membuat ketakutanku lenyap. Aku beralik mah nghadapnya dengan nafas masih terengah.
"Lo gila?!" kataku berbisik namun setengah marah sambil menusuk perutnya dengan telunjukku.
"Ssst..." Mahesa berdesis, mungkin karena ketajaman kuku di tanganku. Kemudian matanya bergerak ke sana kemari seperti mewaspadai kedatangan orang. Hmmm... dia muncul lewat jendela dan berlagak seperti ini.
"Kenapa sih?" tanyaku dengan suara yang lebih pelan.
"Abang lo gak bakal izinan gua di sini," sahut Mahesa. Dia menghela napas lalu melanjutkan dengan tatapan mata yang masih gusar. "Jadi seharian gua diem di pohon itu," Aku mengukuti arah telunjuknya ke luar jendela, tepat pada sebuah pohon yang menjulang tak jauh dari kandang anjing herder. Lantas aku tertawa membayangkannya seharian bersembunyi di atas pohon dengan berusaha tidak membuat curiga si anjing. Lagi-lagi Mahesa menyuruhku agar tidak berisik, kali ini ia memperingatkanku dengan pelototan matanya.
Mahesa kemudian duduk di frame jendela. Sementara aku masih berdiri dekat meja sambil menikmati Sandwich ala kadar buatanku. Aku kembali berbicara dengan suara yang tak lupa dibuat berbisik, "Lo nyeremin ya? Mengintai gua," cibirku. Aku terkekeh kecil sambil menatapnya. Dia hanya bergeming membalas tatapanku dengan alis mengkerut. Entah apa yang dia pikirkan. Kubawa piringku dan menghampirinya. "I know what you need," Kemudian menyuapinya satu potong roti. Tanpa penolakan, Mahesa menggigit roti di tanganku.
It's make my heart beat so fast!
Aku menyodorkan potongan-potongan sandwichku, aku tahu dia kelaparan.
"Kenapa lo ngebuntutin gue?" Pertanyaanku seketika membuat tangannya bergerak menghentikan tanganku yang hendak menyuapi sisa gigitannya. Mahesa menatapku lamat-lamat. Aku berusaha menormalkan deru napasku yang diakibatkan kerja jantung yang terlalu cepat. Sisi lain pijakanku juga seolah melayang."I don't know," sahutnya acuh kemudian turun dari frame, membawa gelas dan menghampiri dispenser dan minum di sana. Jawaban tak memuaskan hanya membuatku mematung sambil menatapnya penuh tanya.
Okey! Who care!
Aku melahap sisa roti di tanganku, seolah menelan tanda tanya yang menggangguku.Mahesa kembali menghampiri dan membagi minumnya di gelas yang sama untukku.
.
.
.Aku kembali ke kamar dan Mahesa mengikuti dengan cara menyelinap. Sekarang aku sedang meringkuk di kasur, memeluk guling sambil menatap ke sofa yang bersebelahan dengan jendela yang dibiarkan terbuka kecuali gardennya. Di atas sofa bercokol si tuan cuek, Mahesa Abimanyu yang tengah mengawasi sesuatu di bawah dengan cara sedikit membuka tirai penghalang.
"Adam, gak akan datang." Katanya memberiku informasi hasil dia menguping percakapan di bawah yang sama sekali tak kutanyakan, tapi memang kucemaskan diam-diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
BILUR
Teen Fiction"Tuhan mengirimkan kamu, sebuah paket yang diletakan begitu saja di depan pintu usang." Mayang: Kalau udah kenal banget... Eca itu... banyakin sabar pokonya!! Mahesa: Mampu mengalihkan gue dari titik fokus, dasar cwek freak!