Tiga puluh

770 51 0
                                    

MAHESA

Kepalaku mulai aktif, dan aku mulai sadar jika semua yang kulihat ini hanya halusinasi. Hanya mimpi dari tidurku. Kubuka mataku, sedikit mengangkat kepalaku yang rasanya amat berat, langsung bereaksi dengan berdenyut kuat. Tubuhku rasanya seperti tidak makan selama beberapa hari, lemas. Lalu aku sadar jika aku tidak berbaring di kamarku. Foto Ali dan Zaen yang terpajang di meja menjawab semua tanda tanyaku. Memori kemarin terputar kembali di kepalaku.

Sore itu, aku nyaris pergi ke sebuah apartment pribadi yang megah, milik kakakku--maksudku bajingan bernama Mahendra. Tapi tujuanku berubah ketika Ali menelpon dan memberitahukan kepulangan sahabat kami, Bumi. Jadi mau tidak mau, kutunda dulu rencanaku. Kami berkumpul seperti biasa tanpa kehadiran Reno yang sedang sibuk remidi ujian praktek.

Niatku, ketika pulang dari sini adalah kembali melanjutkan rencanaku. Tapi sialan! Sesuatu jatuh dari balik saku jaketku. Otomatis membuat Ali dan Bumi bertanya-tanya dan menginterogasiku. Mereka mencegahku pergi. Dan meledaklah dalam diriku, pergulatan rasa dan pemikiran. Sampai aku tak bisa memilih yang lain selain beberapa butir obat tidur untuk membuatku beristirahat dari segalanya. Sudah lama sekali sebenarnya, sampai efeknya seperti aku baru pertama kali melakukannya.

Sialan! Mahendra memang penyakit! Jika dia belum bisa kusingkirkan maka aku selalu butuh obat untuk menyingkannya.

Tenggorokanku terasa amat kering. Berapa lama aku terbaring? Ali yang duduk di sofa depan televisi berbalik ke arahku, menyadari kesadaranku ketika aku terbatuk. Rautnya tentu saja terlihat marah dan dingin. Aku sedikit tersinggug dengan cara Ali menatapku seperti sampah, tapi mau bagaimana lagi, sepertinya itulah aku sekarang. Entah karena kamarnya kupakai untuk melakukan 'kegoblokan' ini atau karena dia mencemasiku.
"Jam berapa?" Suaraku serak.

"Lo gak sadar nyaris 48 jam," sahutnya tak berelasi. Aku tak menanyakan durasi. Tapi aku tanya waktu.

Kuregangkan ototku menggeliat, sepertinya aku bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Berbalik untuk melihat jam diding yang biasanya bercokol tak jauh dari atas sofa kelabu di sebrang tempat tidur Ali. "Ajig!" umpatanku tak tertahan ketika kudapati sosok perempuan tengah duduk sedikit meringkuk di sudut sofa. Pandangannya lurus menatap jendela. Jam menunjukan pukul enam pagi, dan sepagi itu pula wajahnya nampak murung. Dia menggigit jari tangannya, gestur kecemasan yang begitu aku kenali darinya. Kulirik Ali dengan tanda tanya atas kehadiran Mayang, Ali menjawab dengan ekspresi jika dia tidak ada hubungannya dengan Mayang. Dengan kata lain, Mayang datang tanpa diundang kecuali dengan kemauannya sendiri. Kemudian Ali melengos ke luar tanpa mau tahu bagaimana nasibku selanjutnya.

Aku segera duduk, tapi aku tak membuat Mayang bereaksi. Pikirannya seperti berkelana jauh. Turun dan aku diam dengan berlutut di hadapannya. Sentuhan tanganku di lututnya, membuatnya berhasil menoleh, menatapku. Namun hanya sekilas, dan ia kembali menatap ke luar jendela. Aku membuatnya kecewa.
"Sorry," lirihku. Tak ada reaksi selain dari air matanya yang jatuh menetes. Rasa penyesalan pun menyergapku begitu saja. Dia akan menolak segala pembelaanku, jadi percuma saja jika aku berbicara lebih banyak.

Gerakanku dihentikan oleh tangannya yang tiba-tiba menahan tanganku agar tetap di lututnya. Aku kembali menghadapkan diriku dengan sempurna. Dia menatapku, dan aku membalas tatapannya dengan rasa tidak tahu diri. Aku pindah dan duduk di sampingnya, kusangga kepalaku dengan sikut tangan yang menekan ke sandaran sofa agar bisa menatapnya.
"Fist me, if you want." Meski dalam diriku berkata bahkan dia layak jika ingin membunuhku.

Tangannya yang kugenggam dia tarik, cukup membuatku tersentak, namun kemudian dia menciumku. "Hey? I said fist me, no kiss me." Dia tak menjawab, malah kembali berbalik dan menatap jendela.

"Okay."
Kurebahkan kepalaku yang masih berat di lahunannya.
"I'm sorry i can't be a good man for you, i just feeling like I'm in the stumped way, and i'm aflame, ablaze. No one hear me."

"Why? Why you always feel alone? you don't wanna tell me?" Dia marah. Setidaknya dia bereaksi. Karena diam adalah kemarahan yang lebih menakutkan dari pada mencaci.

"I love you," kalimat itu lebih dari sekedar ungkapan, kuharap juga bisa menenangkan.

"You love me, but you don't believe me."

Aku diam. Tak tahu harus seperti apa menjelaskannya. Apa sebaiknya aku jujur saja? dengan resiko dia pergi. Atau bertahan dengan cara diam. Menjijikan!

"It's hurt me," lirihnya. Yakinlah, akan ada yang lebih menyakitkan dari pada melihat orang yang kau cinta mati konyol karena over dosis.
"Tell me why? Why did you do that? drug better than me?"

Aku menegakkan kepala dan mentapnya yang kini menatapku lagi-lagi dengan air mata yang mengalir di pipinya.
"You want me to tell you why?"

Aku kembali bangun dan kembali duduk. Kata-kata yang akan kuungkapkan seolah tertahan di kerongkonganku. Berat untuk kutarik.
"I feel so dumb! I feel so bad. For you. Because..." Ayo katakan brengsek! Bayar apa yang telah kau lakukan! Bayar kesedihannya dengan keadilan!

"Kenapa? Ayo bilang..." Mulutku kelu, dimana keberanianku. Ah! Apakah aku terlalu melankolis jika takut?

Menghela napas.
"Aku gak bisa terima Mahendra, yangsudahmembunuh Adam!"

.
.
.

BILURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang