Dua puluh empat

884 56 0
                                    

Mayang.

Aku marah padanya. Dan Mahesa terus menuntutku dengan pertanyaan salahnya apa. Malas, tanpa menghiraukannya aku mengambil bag-packu, membuka freezer, memasukan sebotol minuman dan beberapa cemilan, lalu meraup kantung plastik obat yang masih tergeletak di meja makan. Bersepatu lalu meninggalkan Mahesa. "What's wrong with you?!" Katanya terbawa emosi berteriak di ambang pintu. Aku menoleh, menatapnya kesal. "With me?!" Suaraku ikut meninggi, lalu menggelengkan kepalaku tak percaya. Kemudian pergi tanpa mau mendengarkan apa-apa lagi.

Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya aku tidak tahu aku dimana. Bagaimana pun sekitaran apartemenku adalah wilayah yang baru untuk ku. Untung saja aku menemukan tempat yang bagus. Duduk di tembok di bawah pohon. Perlu istirahat untuk mengatur deru napas dan detak jantungku.

Menatap ke langit, rintik hujan yang tipis terbawa angin dan menyentuhku, lama semakin lama gerimis kian kerap.
Aku tercenung dengan apa yang sudah kulakukan. Aku marah hanya karena sesuatu yang belum jelas? Aku marah hanya karena persepsiku, padahal itu hal yang belum tentu? Lalu katakan padaku, apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan jika persepsiku benar? Kaut tak bisa menolak. Bagaimana pun persepsi lahir dari pikiran dan penafsiran fungsi indra atas hal-hal disekitarnya.

Tiba-tiba nada dering ponselku memecah sunyi, kulihat Mahesa yang menelpon. "Aku lagi butuh waktu," kataku lalu menutup telponnya.
Serius? Aku juga berpikir betapa childish nya ini. Terserah! Perasaanku padanya sedang kacau.

.
.
.

Aku kembali menelusuri jalan, terus berjalan, sampai akhirnya tiba-tiba aku menemukan diriku di sebuah pasar malam. Menyenangkan juga. Aku jadi ingat Adam. Dengannya, dulu aku suka naik semua permain yang ada macam ini. Cemilan favorit kami adalah kacang tanah yang di rebus. Kurogok saku sweaterku, dan "anjir! Cuma bawa duit ceban?" Kembali ku jejalkan uangku ke dalam saku dengan kecewa.

Para pengunjung bersuka ria, tanpa peduli pada gerimis. Pasangan muda maupun sebuah keluarga. Keduanya berhasil membuatku merasa miris. Coba saja Mahesa di sini. Ish! Lagi-lagi dia!
Menghela napas aku kembali berjalan, mencari tempat untuk duduk berteduh dan menikmati cemilan yang kubawa dari apartemen.

Aku menghampiri sebuah stand penjual bakso untuk ikut duduk di bangkunya. Baru saja mau menghempaskan diri ke kursi, namun digagalkan oleh seseorang yang menyeru namaku. "May!" Aku menoleh ke sumber suara, sebuah kerumunan sebrang stand tukang bakso.
Menyipitkan mata lalu kutemukan senyum cemerlang berlesung pipit. Tapi selama ini tidak membuatku berminat untuk memilikinya.

"Elang?" Hmm, kenapa sering sekali bertemu dengannya. Mengambil langkah untuk menghampirinya dan terpeleset menginjak tanah basah adalah hal yang tidak aku sangka akan terjadi. Tubuhku jatuh di atas lengan seseorang yang menahanku dengan sergap. "Thanks!" Kataku. Orang-orang menatap dan cukup membuatku malu, sisi lain membuat Elang merasa bangga karena ditatap seperi seorang kesatria penyelamat. Dengan berpegangan pada lengnanya aku berusaha berdiri kembali, tapi kakiku malah bergetar dan lemas. Aku nyaris kembali ambruk.

"May!" Lagi-lagi Elang menahanku. Sakit! Aku mengaduh karena tak tahan. "Sakit Lang," ujarku lirih. Kata yang selalu kusembunyikan itu akhirnya keluar juga dari mulutku. Entah kenapa ada perasaan mengalir dingin, lega akan kejujuranku.

"Kamu, kambuh yah?" katanya. Aku hanya bisa mengangguk pada kenyataanya kubenci itu. Elang membalikan badannya dan berjongkok di hadapanku, dan aku mengerti maksudnya tanpa harus bertanya. Dengan sedikit ragu aku menimpakan diriku ke punggungnya.

.
.
.

Digendong dan diajak berkeliling di pasar malam. Awalnya malu, orang-orang pasti berpikiran aku dan Elang adalah pasangan norak yang senang mengumbar kemesraan. Tapi kelakuan dan sifat Elang yang bodo amat dan acuh malah membuatku lupa pada pikiran-pikiram itu. Justru aku asik dan banyak tertawa dibuatnya.

BILURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang