dua belas 😌

1.2K 80 0
                                    

"Ada apa Ca? Kok ribut-ribut?"
Tanyaku ketika Mahesa muncul dan duduk di kasur rawat, di sampingku.

"Nggak, gua cuma gak mau aja ada yang ganggu istirahat lo," jawab Mahesa. Tapi sikap cueknya seperti berbaur dengan sikap berusaha menutupi sesuatu.

"Iya tapi siapa yang lo ajak berantem?" Aku menegakan diri untuk duduk, tapi kedua bahuku ditahan Mahesa, dia menekannya supaya aku tetap berbaring. Aku nurut saja. Aku menunggunya menjawab pertanyaanku, tapi setelah beberapa detik dia tetap diam. Sehingga akhirnya aku memilih menggunakan tatapanku untuk mendesaknya.

"Elang," katanya kemudian.

"Loh? Terus kenapa lo larang masuk Ca?--"

"Kan gua bilang gua gak mau ada orang ganggu istirahat lo!" Aku terkejut karena dia menyahut dengan cepat. Aku merasa aneh saja, jika alasanya takut pengap, itu tidak mungkin. Sebab tenda rawat ini besar bahkan kau bisa berdiri tegak di dalamnya. Begini, jika kau pernah memonton harry potter kau pasti pernah melihat tenda ajaibnya, yang ternyata luas. Yah walau pun tidak seluas itu juga.

"May lo gak papa?" tatapanku teralih pada suara dari belakang Mahes, lalu tubuhnya memasuki tenda.

Aku sekarang berhasil duduk tanpa ditahan lagi oleh Mahesa. Sebab sekarang orangnya sibuk menatap Elang dengan tajam orang yang datang itu.

"Elang? Gua gak pa--"

"Lo ngeyel ya?!" Tanpa kuduga Mahesa bangkit dan menghampiri Elang kemudian mendorongnya.

"Eca!" teguranku membuat Mahesa kembali menatapku dengan wajahnya masih menampkan kekesalan, sama seperti hal nya wajah Elang yang kesal karena didorong.

Sementara aku berpikir, kenapa dia jadi protektif?

Mahesa mendengus kesal lalu ia pergi keluar meninggalkan tenda. Elang menghampiriku dengan wajah yang masih memerah karena emosi.

"Maafin Mahesa, dia gak maksud--"

"Iya gua tau kok!" Ada detik dimana aku dan Elang hanya saling diam. Aku berpikir, apa aku terlalu membela Mahesa di depan Elang. Akhirnya Elang menatapku dengan cemas, dan kembali mengawali pembicaraan, "elo nggak papa kan?"

"Gua gak papa," sahutku.

"Kalau ada apa-apa lo panggil gua aja..."

"Iya."

"Gak usah sungkan, jangan lupa lo minum obat--"

Lost, suara Elang seolah menghilang. Karena pikiranku tertuju ke balik tenda. Memikirkan dimana Mahesa, dan apakah dia marah?

"May!!"
Entah itu seruan Elang yang ke berapa, kurasa lebih dari tiga kali, sebab nadanya sudah lumayan meninggi.

"Eh, iya Lang?" Aku kebingungan, tapi Elang memberiku tatapan interogasi dan membuatku semakin merasa kikuk.

"Lo kenapa sih?" Lalu dia menoleh ke belakang, ke arah mana mataku sesekali melirik. "Mahesa?" katanya.

"Mmm? Enggak, bukan."

"Alaah! Udahlah, lo gak bisa bohong dari gua. Lo suka kan sama dia?"

Iihh, Elang kenapa sih. Memangnya kenapa kalau iya aku suka? Dan kenapa kalau nggak? Tapi sulit untuk mengatakan tidak atau pun iya.

"Oke, sorry gua ganngu." Elang beranjak dan pergi meninggalakan tenda, tak peduli aku memanggilnya.

.
.
.

Malam semakin larut, aku berharap seseorang kembali menemuiku. Entah itu petugas PMR yang membawa makanan, atau pun... Mahesa.

Aku tahu aku terlalu berharap, apa pedulinya dia padaku. Tapi aku lapar, sejak tiga jam yang lalu tak ada lagi orang yang memeriksa keadaanku. Kurogok ponsel yang menancap di saku celanaku. Dan sinyalnya masih buruk, kukira malam hari hanya ada sedikit pengguna, jadi sinyalnya akan membaik, tapi nyatanya tidak.

BILURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang