Dua puluh

916 51 0
                                    

Mayang.

Aku yang kemudian menemukan motor Mahesa di halaman garasi hanya bisa menggelengkan kepala. Emang ceroboh, rutukku dalam hati. Kemudian kumasukan motornya ke dalam garasi. Saat aku hendak kembali ke masuk kumah, tiba-tiba aku dikagetkan oleh kehadiran seseorang di balik gerbang. Menyipitkan mata dan akhirnya bisa ku lihat dari sana Elang melambaikan tangan. Aku segera menghampiri setelah tahu bahwa orang itu kukenali.

"Ada apa Lang malem-malem?" tanyaku langsung ketika membukakan pagar besi yang membatasi kami.

"Mau ikut touring?" tanyanya.
Aku merengut bingung. "Kapan?"
"Malam ini," tandas Elang dengan senyuman miringnya yang bikin cewek melumer tapi tidak bagiku.
"Malam ini juga? Kemana?" Kataku dengan sedikt kebingungan atas ajakannya.
"Iya, ke pantai. Sama anak-anak. Bagas, Lexy, Langit juga ikut." Aku tak habis pikir. Apa yang membuat Elang berani mengajakku walaupun jelas-jelas sudah tahu bahwa aku sekarang telah resmi menjadi pacar Mahesa. Tidak kah ia agak sungkan, misal? Ah tapi namanya juga Elang.
"Gak ah," sahutku sekenanya.
"Pasti karena pacar baru lo itu kan?” Elang mengacungkan sebelah alisnya dengan sinis. Seketika membuatku memberengut, "lo ko nyalahin Mahes sih!"
"Ya abis siapa lagi, lo makin gak asik pas deket sama dia," Aku benar-benar tidak menyangka Elang akan berbicara seperti itu.
"Kalau gak ada yang penting lagi, lo bisa pulang," ujarku lirih bercampur amarah. Bukan karena dia memojokan Mahesa begitu saja, tapi ada banyak alasan selain itu. Aku sedang banyak masalah, kematian kakakku bukan hal yang begitu mudah aku lewatkan begitu saja, meski sudah berselang sebulan kejadian itu berlalu, rasanya terlalu sulit, amat sulit.
Elang lantas menahan tanganku yang hendak melengos. "Oke, oke sorry." Dan aku mencoba meredam amarah, kembali diam di tempat mendengarkan Elang.

Elang turun dari motor dan berdiri menghadap ke arahku, aku masih nampak gusar dan risih.
"Gua cuma mau ngajak lo touring aja, ngumpul.  Sorry kalau ucapan gua ngerambat ke sana. Karena siapa pun pasti kesel, liat gebetannya lebih milih cowok lain—"
"WHAAT?! gebetan? Siapa?" sontak aku menyahut dengan nada bicara yang meninggi. So dramatic, tapi ini sangat mengejutkan. Aku berani sumpah, aku merasa tidak pernah memberikan harapan lebih pada Elang mengenai perasaan. "We just friend Elang, dari dulu aku udah jelasin," kataku seperi lebih memohon dari pada menegaskan.
"Iya terserahlah! Apa lo tau waktu di acara graduate kemarin gua mau nembak lo? Dan tiba-tiba aja dia muncul dan narik lo."
Aku tidak tahu kalau saat itu Elang akan menyatakan persaannya—lagi. "Yaudah sih, jawaban gua akan tetep sama. Udah berapa kali sih Lang? Gak bosen apa?" kataku agak diselingi candaan, supaya situasi tidak terlalu memanas. Walau kenyataanya candaan tu terdengar kaku. Lebih ke sinis seperti sindiran. Kalau tanya kenapa aku menolak Elang, banyak alasannya. Salah satunya, dia playboy, temen sekelas jadi canggung, dia kaya dan aku tidak, dia tenar dan aku tidak suka.

"Iya gua tau, tapi please. Sebagai kenangan terakhir," tiba-tiba saja Elang mencondongkan dirinya mendekatiku. Saking kagetnya untuk beberapa detik aku tidak bisa beraksi apa-apa selain diam. Namun akhirnya aku segera sadar. "Ih apa sih lo!!"  Kudorong dada Elang supaya menjauh. Elang terpental namun cengkraman tannya di lenganku cukup kuat, sehingga ia kembali menarikku agar mendekat. "Sakit Elang!!!”
"Lepasin!"

.
.
.

Mahesa.

Oke aku meminta Reno memutar arah untuk kembali ke rumah Mayang. Aku lupa membawa kunci motorku. Jelas dan benar sekali yang Mayang katakan, kalau aku ini ceroboh.

Dari kejauhan lampu mobil menyorot dua orang yang sedang cek-cok di depan rumah Mayang. Awalnya kukira itu hanya sepasang kekasih murahan yang sedang bertengkar di punggir jalan. Tapi ketika semakin dekat dan kudengar jeritan Mayang aku segera membanting pintu mobil keluar. Menarik lelaki kurang ajar itu dan menjotosnya dengan tinjuanku. Lelaki itu sampai tersungkur sedangkan Mayang menjerit kaget.
Sial! Aku makin marah ketika kudapati ternayata dialah Elang. Bangsat satu ini tidak ada hentinya mengganggu Mayang. Mengganguku.

Elang hendak bangkit dan kembali menghajarku tapi Bumi dan Reno segera keluar untuk melerai. Akhirnya Elang memilih pergi setelah berhasil Bumi dan Reno tengahi. Mayang masih bergetar ketakutan. Tapi aku bingung apa yang harus aku lakukan. Aku hanya menatapnya dengan kepala direcoki pertanyaan. Aku tidak mengerti kenapa ada Elang di sini, bersama gadisku? Tanpa sepatah kata lalu aku masuk ke dalam dan tak menemukan motorku. Setelah berinisiatif mengeceknya ke dalam garasi aku menemukannya. Kuncinya menggantung. Tanpa pikir apa-apa aku segera naik dan menyalakan motorku.

Kulihat Bumi sedang menenangkan Mayang. Tapi aku enggan untuk berhenti. Rasanya pertanyaan bertubi yang datang ke kepalaku sungguh membuatku tidak berdaya selain menjauh.  Menjauh dari hal yang membuatku sesak.

"Ca!" Kudengar Reno menyeru untuk menghentikanku. Tapi yang justru kulakukan adalah menancap gas lebih kencang lagi meninggalakan mereka.

.
.

Semalam, setelah peristiwa si bangsat Elang, awalnya aku tidak tahu mau pergi kemana, yang ada dalam diriku hanyalah ingin menjauh, untuk menenangkan diri. Namun setengah jam kemudian kudapati diriku diam di tempat favoritku. Di sebuah dahan pohon di pinggiran pantai. Dan sekarang dengan badan ringsek di pagi hari kutemukan diriku masih di tempat yang sama. Aku segera turun, untung saja motorku tidak ada yang mencuri. Tanpa pikir panjang aku segera pulang.

Saat sampai rumah, kulihat Ibuku sudah siap pergi mengantar Cindy sekolah TK. Dan Ayah sudah tidak ada di rumah.

"Tidur dimana?" tanya Ibuku ketika melihatku membuka pagar.
"Ali," sahutku singkat.
"Kirain lupa pulang," Ibuku menyindir. Aku sedang tidak mood. Jadi aku diam.
"Gimana keadaan Mayang?" Lanjut ibuku dan makin memperparah moodku. Aku menatap Cindy yang sibuk memakan donat sambil dipasangi sepatu oleh Ibuku.
"Ditanya kok diem," omelnya lagi.
"Au ah Eca lagi males!" Aku melengos begitu saja ke dalam rumah. Ibuku akan mengira aku sedang berantem lagi degngan Mayang. "Males, kebo!" Kudengar bisikan kecil berupa serapahan yang keluar dari mulut adikku, yang kadang membuatku berpikir, betapa miripnya dia denganku.

Kujatuhkan diriku di sofa. Rasanya tidur di dahan bukan lagi ide yang bagus untuk pria yang sudah berumur kepala dua. Pegal semua badanku. Aku mengeluarkan ponselku dari saku tanpa mau membukanya, lalu menyimpannya ke atas meja. Bodo amat! Sekali pun ada panggilan terpenting dari pihak kampusku.

"Ca, Mama ke TK dulu!" Teriak ibuku dari luar. Aku ingin tertawa. Entah karena apa. "Makan terus mandi!" katanya lagi. Aku merasa jadi bocah berusia tujuh tahun kalau sudah diteriaki seperti itu. Itu membuatku geli. Kutanggapi dengan gumaman yang cukup untuk didengarnya. Oh, maafin Eca Ma, benar-benar sedang tidak mood.

Setengah jam berlalu dengan acara kartun di tv yang ternayata tidak semenyenangkan saat aku menontonnya dengan mood baik. Tiba-tiba bel rumah berbunyi. Dengan malas-malasan aku membukakan pintu. Dan pagi inilah, lagi-lagi aku diuji.

Adara tiba-tiba saja menelukku sambil terisak. Aku ingin melepaskannya. Tapi entah kenapa ada dorongan dalam diriku untuk sedikit menghargainya. Jadi kubiarkan sampai akhirnya dia mau bicara.
"Bi, Mahe... Mahe," ucapan terputus-putusnya membuatku agak geram. Jengah! This is not a drama please! "Apa?" kataku terdengar kaku seperti biasa.
"Mahendra," katanya mengucapkan sebuah nama yang membuatku teringat akan kebahagiaanku, kelemahanku, kehancuranku, kerinduanku sampai pada level kebencianku.
"Aku hamil."

Harusnya reaksi wajar adalah terkejut. Harusnya reaksi wajar kemudian marah. Tapi yang terjadi padaku malah tertawa, tertawa sinis. Dan juga miris. Oke anggap saja aku jahat. Tapi kenapa juga harus terkejut pada kehamilan yang terjadi pada perempuan macam Adara.

Sontak dia menatapku tajam. "Sorry," ucapku. "Apa reaksiku salah?” kutanya dia. "Oh come on, you having sex with him every night  maybe. So?? What is the problem if you're pregnant?"

Dan yang terjadi selanjutnya adalah, pipiku terasa panas karena tamparannya. Aku menunduk, mendengus, menahan kekehanku. Ada apa dengan perempuan ini. Harusnya dia senang? Dengan begitu kakaku—sorry—dengan begitu Mahendra bisa menikahinya.

"Aku hamil, dan kamu malah kek gini Bi?!" katanya dengan suara bergetar.

"Itu bukan kesalahan gua. Pergi Ra." Aku tidak tahan lagi. Jadi hanya itu yang bisa kukatakan.

Adara menatapku penuh benci sebelum akhirnya dia pergi.

Ketika dia melengos. Lalu kudapati lagi ujian lainya. Tatapan kecewa dari seseorang yang benar-benar aku cintai. Dia yang berdiri di dekat frame, sepertinya agak terlambat dan hanya mendengar potongan percakapan yang tidak mengenakan antara aku dan Adara.
"Yang?" Ucapku, sedikit tergagu.

BILURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang