22

2.7K 281 13
                                    

"Ginny!!" Pekikku saat melihat Ginny di halaman rumahnya. Kini Ginny dan Harry sudah memiliki rumah sendiri dan tinggal di sana. Lebih besar dibanding rumah keluarga Weasley sendiri. Kulihat perut Ginny sudah mulai membesar.

Ginny tersentak melihatku ada di hadapannya. Matanya membesar dan menyipit seperti memastikan apakah yang ada di depannya kini seorang Hermione atau bukan.

Kupeluk Ginny dengan erat. Tidak terlalu erat juga, kasihan. Dia bisa sesak kalau pelukannya tidak kulonggarkan.

"Mengapa kaubisa ada di sini, eh? Bukankah--Oh! Jadi tugas itu.. Kini sedang kaujalani?" Ginny memegang bahuku ketika aku melepas pelukanku.

"Yap. Aku sedang menjalani tugas itu," ujarku seraya tersenyum.

"Uh, semoga kau beruntung. Ya sudah, ayo masuk. Ah! Aku harus memberi tahumu sesuatu."

"Mengapa kau tidak memberi tahu aku, bahwa kau akan sampai pada hari ini--"

"Kemarin, tepatnya." Aku memotong ucapan Ginny di sela langkahku.

Mata Ginny membesar, kutahu dia terkejut mendengarnya. Pasti dia akan sedikit marah nantinya.

Dan benar saja, "Merlin, Hermione! Ah, mengapa kau tak mengunjungiku sejak kemarin, eh? Kau tidak mengutamakan aku? Atau jangan-jangan kau memiliki kekasih baru di dunia sihir dan kau mengunjunginya untuk hari pertama kau di sini? Oh, Mione! Teganya kau!" Ginny merengut dan mendelik ke arahku. Aku hanya tertawa saja menanggapinya.

"I'm truly sorry, Ginny. Aku terlalu lelah kemarin. Tidak, aku tidak memiliki kekasih baru. Jangan mengada-ada." Aku merangkul Ginny dan menepuk bahu sebelah kanannya.

Tepat saat aku duduk di kursi, Harry meletakkan tiga cangkir di meja lalu memeluk Ginny dan mengusap perut istrinya itu. Ah sweet sekali dia memang. Aku iri, tak kupungkiri itu.

Harry duduk di sebelah Ginny dan menyesap air yang berada di cangkir itu.

"So?" Tanyaku.

"Aku berhenti dari Timnas Quidditch, Hermione! Dan kini--"

"Wait, what? You mean Holyhead Harpies, Ginny? Merlin's beard!"

"Aku belum selesai berbicara, Mione. Ya, dan kini aku bekerja sebagai editor di daily prophet, menerima tawaran Rita Skeeter. Menurutku itu cukup untukku, tidak membuatku terlalu lelah, juga membuatku masih merasa ada pekerjaan. Kautahu, di Holyhead Harpies, aku memang sudah senior tapi keputusanku sudah bulat. Yah walaupun menjadi editor sedikit membuatku pegal karena hanya duduk diam dan tidak bergerak. Pada awalnya, rasanya lebih baik patah tulang karena jatuh dari sapu daripada lelah berpikir dan membuat bokongku ini mati rasa karena terlalu lama duduk diam. Tapi yah, sekarang aku sudah mulai bisa beradaptasi."

"Eum okay. Congrats, Ginny," ujarku seraya menepuk kedua bahunya. Aku menyesap air yang berada di dalam cangkir itu, rasanya seperti teh hijau. Atau memang itu teh hijau? Ah lupakan.

"Ada yang ingin kauberi tahu pada kami, Hermione? Mungkin tentang di mana kau tinggal sementara?"

Uh, apakah aku harus benar-benar jujur? Aku sangat serba salah di sini. Aku malu untuk memberi tahu, jika tak kuberi tahu, yang benar saja? Mereka teman dekatku. Yah kuputuskan untuk memberi tahu, apapun reaksi mereka.

"Malfoy's Manor. Mrs. Malfoy yang menawariku."

"For God's sake, Hermione! Yang benar saja? Bukankah Manor itu selalu jadi tempat yang kaubenci? Coba jelaskan padaku dan Harry."

Harry tiba-tiba ikut berbicara. "Jadi ini yang kau sembunyikan sedari tadi? Yang ingin kauceritakan padaku tapi menunggu waktu? Oh, Gin, kautahu Hermione sangat gugup untuk membicarakan itu di depanku. Sangat bukan Hermione, setahuku."

Troubled Love - DramioneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang