Aksadara 04

3K 226 1
                                    

Gelapnya angkasa ternyata tak mampu membuat seorang Aksal menyerahkan dirinya ke rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gelapnya angkasa ternyata tak mampu membuat seorang Aksal menyerahkan dirinya ke rumah. Cowok itu malah melaju membawa kuda besinya membelah jejalanan dan bersinggah di salah satu bengkel .

Bengkel sederhana ini di buat teman setongkronganya. Sebenarnya Aksal baru mengenal tempai ini 7 bulan lalu, di saat cowok itu terjebak hujan dan menepi di bengkel ini. Sejak saat itu, bila ingin bersenang dengan teman Aksal akan melaju kesini.

Orang yang datang kesini tidak menentu, sebagian juga Aksal tidak mengenalnya. Namun, beginilah cara anak laki berteman. Kenal tidak kenal, selagi menyenangkan bisa di jadikan kawan.

"Babang Aksal datang bung" Aksal tersenyum tipis dan menyambut kepalan tangan sebagai salam. Cowok itu saling bertos dengan yang lain, sebelum duduk di salah satu kursi.

Aksal tidak mau muluk terhadap temanya, ia tidak pernah pilih-pilih dalam bergaul. Bungkus rokok, minuman kaleng dan sampah kulit kacang. Itulah yang tersedia di meja. Aksal bukan cowok tongkrongan di restoran mahal atau cowok yang hanya ingin minum kafein dengan harga selangit. Dia hanya perlu minum kafein sasetan, di sedu dengan air hangat atau kalau perlu di tambah gula yang di jual kiloan.

Begitu saja, Aksal sudah bahagia.

"Gue belum bilang sama kalian, malam ini mendingan balik dah rombongan bubut" Aksal menoleh ke arah Ardi, cowok yang memakai baju biru itu mulai menatap serius. Bubut itu nama untuk orang yang baru bergabung, yang belum tentu ikut dalam hiruk pikuknya bengkel ini.

Dan Aksal termaksuk ke dalam bubut itu.

"ketemuan lagi lo pada?" kali ini yang bersuara Jeno, cowok berkulit putih itu menegakaan tubuhnya dari bersandar di sofa. Ardi mengangguk kecil " lo pada mendingan balik, gue gak bisa tanggung resiko" jelas Ardi bangkit dari duduk. Cowok itu menarik jaket yang  ia letakan di kursi dan memakainya.

Setelah itu beberapa orang juga mulai berdiri, bila Ardi sudah bilang bubut harus pulang dulu maka pulang lah. Ini bukan soal cemen gaknya, Ardi hanya gak mau ngelibatin temen-temenya yang gak tahu menau.

Melihat sebagian dari mereka mulai cabut, Aksal masih diam dan duduk tenang. Jeno melirik posisi Aksal dan menjulurkan tanganya ke arah cowok itu. Sebuah ajakan untuk bangkit dan pergi.

Namun, Aksal bergeming. Dia diam, dan menepis tangan Jeno pelan. Jeno menoleh, menaikan sebelah alisnya "balik Sal, gak usah cari masalah lo"ujar Jeno. Jeno itu teman satu sekolah Aksal, cowok berkulit putih itu senior Aksal.

"gue ikut" Jeno terdiam dan Ardi menoleh, ia lirik Jeno dulu sebelum menatap Aksal yang sudah bangkit.

"Tenang aja, resiko gue sendiri" Aksal menimbal, membuat pengajuan agar ia di ajak. Ia berjalan mendekat ke arah Jeno dan menepuk bahu itu "santai, lo gak usah solidaritas sama gue. Besok sekolah dan... gue ada permintaan sama lo" bisik Aksal pelan ke arah Jeno.

Jeno berdesis menatap Aksal yang tersenyum miring ke arah dirinya. Adek kelas kurang ajar itu seperti Aksal.

"Gue pantau lo di sekolah besok, jangan mati lo njing" Jeno menyikut Aksal tepat di perutnya, membuat sang empunya meringis karena sakit.

Aksal tidak janji tentang sekolah, tapi Aksal yakin dia gak akan mati.

...

Tanpa melihat jam, suasana dan dingin yang semakin menusuk sudah bisa memberi arahan jam. Ini pasti sudah lewat tengah malam. Di tengah jalan pengunjung kota, tempat sepi yang di kelilingi tembok tinggi yang tak terawat"

Ardi, Aksal beserta teman lainnya sudah ada disini beberapa menit yang lalu. Mereka masih duduk di motor masing-masing. Melihat seperti ini Aksal merasa konyol, karena serupa pertarunga bodoh di sinetron yang terkenal di televisi.

Tapi persetanan dengan sinetrron iitu. Inilah realita Aksal.

Tak berapa lama, Ardi berdiri dari duduknya. Aksal melihat bayangan mulai mendekat, beberapa orang dengan postur tinggi. Tidak ada yang berbadan kekar, mereka hanya remaja dengan badan biasa.

Aksal ikut bangkit sebelum dia menyipitkan mata dan berdesis tak suka. pecundang mereka bawa senjata.

"Jangan nyerang kalau lo mau hidup, mereka megang tongkat" Ardi memberi intruksi kepada yang lain agar tetap di batas aman. Posisi dalam pertarungan saat ini, tidak memberi pulang  pasti kepada rombongan Aksal, mereka kekurangan orang dan di tambah lawan membawa senjata.

Bisa mati konyol kalau begini.

Ardi maju beberapa langkah, mendekat ke salah satu yang di duga sebagai ketua "perjanjian kita bukan begini" Ardi membuka perbincangan, membuat cowok yang membawa tongkat baseball itu tersenyum miring. Ia kayuh tongkat  dan meletakanya di bahu, oh..kalian tahu gayanya sudah seperti Layla di game online dan untung saja tongkat baseball itu bukan milik Lisa Blackpink.

"sejak kapan lo mengikuti aturan?" dia tertawa kencang, membuat Aksal menatapnya sedikit geli. Ardi menggaruk tengkuknya dan tersenyum tipis.

"Bukan aturan tapi,hanya banci yang berantem pakek begituan"ucapan Ardi berhasil memancing lawan berteriak dan melempar tongkatnya ke aspal. Lepas, semuanya membanting tongkat mereka. Ardi berhasil membuat lawan kesal.

Cowok tadi mengeraskan uratnya, ia cengkram baju Ardi "bangsat," makinya di depan Ardi.

Bukan marah, Ardi mala tersenyum remen dan menghentakan perut lawan dengan lututnya. Ia terlepas, dan langsung saja serangan dimulai.

Pukulan demi pukulan melesat, rahang Aksal terhantam. Ia balas dengan pukulan lebih setimpal, bagian pelipis Aksal incar. Masa bodo dengan kebutaan nantinya, rahang Aksal sungguh mati rasa sekarang.

Meludah ke aspal, Aksal menggeram ketika bibirnya pecah terhantamn pukulan. Mata cowok itu sudah biru sebelah, lalu satu pukulan ingin kembali melesat ketika Aksal mulai merasakan sakit di wajahnya. Ia tahan dengan tanganya dan tersenyum miring, Aksal suka sensasi sakit seperti ini.

Tak putus asa orang yang ingin menonjok Aksal melepas tinjuan dengan tangan satunya, namun melesat dan saat itupula Aksal menyantukan kepalanya ke dagu lawan. Pukulan telak yang memberi nyeri dan bekam. Aksal berhasil menjatuhkan musunya, walaupun dengan melihat mata sebelah.

Ia tendang tubuh itu, satu pukulan ingin hadir lagi sebelum sebuah suara memecah kegaduhan. Aksal berhenti bergerak. Bukan Aksal, namun semuanya berhenti.

"Berengsek, polisi" Aksal bangkit menjauh. Ardi memberi intruksi mundur dan semuanya mulai berlari mendekati motor. Cowok itu menatap sekeliling, melihat teman-teman lain. Mereka sudah pecah ke segala arah.

"Cabut, bego kenapa lo pada diem!!!" Ardi berteriak membuat Aksal tersadar, kemudian suara deru motor mulai kelabakan terdengar. Masih terlihat wajah bonyok Ardi yang merangkul satu temanya. Dengan kaki pincang cowok itu berjalan.

Melihat Ardi yang kesusahan, Aksal bergeming. Ia lepas helm yang sudah bertengker di kepala. Cowok itu mendekat ke Ardi dan detik itu Ardi menjulak Aksal menjauh.

"Bangsat, lo tulis gue bilang cabut!" geram Ardi. Masih berusaha membawa Doni cowok yang sudah terkapar itu.

Aksal berdecak memegang wajahnya yang nyeri, ia dekati Ardi sekali lagi dan langsung merangkul Doni, membantu Ardi.

"Gue bukan banci yang ninggalin temen" ujar Aksal membuat Ardi menoleh ke arah cowok itu. Ardi diam dan pada saat yang sama sebuah suara kembali membuat mereka diam.

"Berhenti sebelum ada yang terluka"

Ardi mengumpat kesar dan Aksal tersenyum dalam diamnya, polisi itu salah mereka memang sudah terluka.

-Aksadara-

Aksadara √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang