Aksadara 14

2K 182 3
                                    

Setelah ini aku harus apa lagi. Tetap setia demi cinta, atau melupa demi kenyataan yang ada.
....

Suara ketukan pelan sepatu yang menghantam lantai terdengar sepanjang lorong sepi. Waktu pembelajaran memang sudah berakhir untuk 20 menit yang lalu, namun Dara masih belum beranjak pergi. Gadis itu masih bertahan menyender dan memainkan ketuka sepatunya kepada lantai.

Manik coklatnya melirik sebuah pintu dari ruangan di samping ia menyender. Ia menghela napas panjang dan menunduk. Aksal ada di dalam ruangan itu saat ini, seperti biasa sedang di minta keteranganya. 

Dan Dara yakin sekali cowok itu habis di marahi tentang tingkah lakunya. Diminta untuk berhenti dan bertobat. Parahanya lagi tentang kuasa ayah Aksal, pasti akan ikut terseret ke sana dan Aksal tidak pernah menyukai itu.

Dia tidak pernah minta menjadi sesuatu yang di spesialkan di sekolah. Aksal bahkan tidak mau. Ia sadar diri terkadang bersyukur punya kesempatan itu, tapi jauh disana ia tak pernah ikhlas.

Jauh disana dirinya tidak pernah mau.

Perlahan suara deritan pintu terbuka terdengar, Dara menoleh dan berdiri tegak. Aksal keluar melihat Dara. Cowok itu diam sesaat sebelum tersenyum "gue gak kenapa-napa kok" ujarnya seolah dapat menebak dari raut khawatir Dara.

Aksal mendekat ke arah gadisnya, meletakan tanganya di atas kepala Dara. Diam-diam Aksal menghembuskan napas dalam "jangan nunggu lagi lain kali, gue gak suka" pinta Aksal mengusap pelan rambut Dara.

"Kenapa gak suka? Gue suka kok"

Senyum tulus Aksal muncul "enggak, jangan lagi pokoknya. Gue gak mau terlihat rendah di depan lo, jangan lagi nunggu gue disini" jelas Aksal kembali menyakinkan Dara.

Dara menatap manik kelam Aksal, mata hitam tajam itu menatapnya teduh. Sangat memohon.

Menghela napasnya Dara mengambil tangan Aksal lalu ia genggam "jangan ngomong gitu Sal. Lo tau'kan gue gak suka"  kini Dara berkata membuat Aksal bersalah.

Sejujurnya Aksal senang ketika melihat Dara disini, menunggunya. Setidaknya, apa yang orang lain katakan tidak sejalan apa yang dilakukan Dara. Aksal lega pikiran.

Namun sayangnya, setiap penolakan orang-orang perlahan membuat Aksal sadar diri. Setelah waktu yang lama ia menutup telinganya rapat-rapat, pada akhirnya Aksal masih saja dapat mendengar.

Dirinya tidak tuli, walaupun dengan susah payah menjadi tuli. Dia sudah sering masa bodo dengan apa yang orang lain katakan. Dia sudah sering seperti itu, sampai dimana batasnya untuk berhenti tiba.

Aksal capek, dia sungguh letih.

Garbage.

"Ada perlu yah??" tanya Aksal, sudah berhasil mengubah topiknya. Dara menghembuskan napas pelan kini membiarkan Aksal ingin mengubah topiknya.

Cowok itu sudah tidak mau berdebat.

"Ayo, ikut gue" tariknya ke tangan Aksal. Aksal mengernyit awalnya mengikuti, sampai dirinya sadar dia sudah dulu berjanji.

Aksal menghentikan langkahnya "kalau sekarang gue gak bisa. Maaf" ucapnya membuat Dara menoleh.

Dara diam, perlahan melepas peganganya pada jemari Aksal "kenapa? kita ketemu oma" tambah Dara.

"Iya, tapi gak bisa sekarang" Aksal memegang bahu Dara, meminta gadis itu untuk mengerti tanpa ada alasan pasti.

"Jangan sekarang, kalau sempat gue temui oma"

"Kenapa harus kalau sempat, jika emang enggak bisa bilang aja"

Aksal diam, menautkan alisnya . Dia keheranan, sejak kapan Dara terdengar sedikit kasar.

"Aksal... jangan janji kalau lo emang gak bisa" ia turunkan tangan Aksal dari bahunya "gue hanya pengen ngajak elo jengukin oma di rumah sakit. Jika emang elo gak bisa, gue gak akan maksa"

"...gue gak mau lo sekedar janji nanti sama oma. Gue gak mau oma kecewa kalau lo gagal nepatinnya"

Aksak terpaku menatap Dara, ia mengerjapkan matanya. Terasa di tampar lagi, kali ini langsung dari titik bahagianya. Dia di seret untuk kembali sadar.

"Bukan gitu Dara... gue sangat-sangat tidak sempat untuk kali ini"

"Emangnya ada apa?"

Aksal diam, tidak tahu harus menjawab apa. Dia memang sudah ada janji, Aksal bersumpah dia bukan sekedar alasan tidak mau. Aksal ingin pergi ikut dengan Dara, dia ingin jenguk oma.

Tapi Aksal tidak bisa egois. Ada seseorang yang sedang membutuhkan sekarang. Sangat membutuhkanya.

"Maaf, gue akan secepatnya jenguk oma. Gue pergi dulu"

Dara diam, tidak menoleh sama sekali untuk melihat pergerakan Aksal yang melangkah pergi. Hatinya sakit, dengan senyum menyedihkan Dara menatap kosong lantai.

Penantianya memang tidak pernah di hargai.

...

Dean menghentikan langkah sepatunya. Ia pandang Dara yang duduk diam di kursi panjang luar ruangan. Cewek itu menunduk, tanpa sadar samar-samar bahunya bergentar. Membuat Dean melangkah cepat dan berdiri di hadapan Dara.

Dara mendongak melihat sepatu seseorang berhenti tepat di depanya. Ia lihat Dean yang membawa buket bunga.

Cowok itu jongkok, menghembuskan napas dan tersenyum "gue rasa bunga ini lebih di butuhkan elo dari oma" ujarnya meletakan bunga itu di pangkuat Dara.

Dara diam dan mengambil bunga itu. Dia menggeleng  dan perlahan setetes air mata jatuh. Dean menarik Dara ke dekapanya. Mengelus rambut itu sayang.

Bagaiamanpun Dara akan menjadi adiknya. Mama Dean akan menjadi ibu sambung untuk Dara. Jadi, kesedihan cewek ini juga kesedihan bagi Dean, luka juga derita Dara adalah miliknya.

Dia akan melidungi Dara lebih dari sekedar rasa sayangnya. Rasa tanggung jawabnya.

"Jangan nangis, lo mau oma sedih kalau tau ini" ucap Dean lembut. Dara mengangguk patuh, melepas peganganya.

Dean tersenyum dan mengusap air mata yang jatuh di pipi gadis itu "mana Dara yang kuat, seinget gue Dara gak mudah nangis. Kenapa jadi cengeng banget?"

Dara tersenyum kecil, Dean benar kenapa dia jadi cengeng seperti ini. Hanya karena Aksal menolak ikut menjenguki oma Dara mewek alay. Dara tidak mengerti, hanya saja hatinya benar-benar sakit. Dadanya sesak, ini pertamakalinya ia menangis karena di tolak Aksal.

"Jangan nangis lagi, lo gak mau'kan Aksal gue tonjok karena gangguin adik gue?" Kata Dean berhasil membuat Dara tertawa pelan "nah, ketawa aja. Lo gak tau seberapa berharganya tawa lo itu. Jangan sedih, abang gak suka" ejek Dean kembali, membuat Dara memukul pelan cowok itu.

"Apasih bahasa lo" kekeh pelan Dara.

Sekarang antara dua alasan Dara menangis. Pertama kecewa karena penantianya sia-sia atau kedua Dara telah sadar jika dia memang salah berharap pada seseorang.

-Aksadara-

Aksadara √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang