9 - Indomi

151 20 12
                                    


Hans dan Doni membantu Sugeng mengaduk semen di kampung sebelah. Sugeng sebenarnya sedang tidak enak badan, tapi dia selalu tersenyum jadi tidak ada yang menyadarinya. Sampai Sugeng akhirnya jatuh pingsan saat mengangkat dua ember air di kedua tangannya. Air dari ember itu pun tumpah semua. Doni dengan sigap berlari ke arah Sugeng, tapi dia langsung jatuh terpeleset genangan air di sana. Hans lalu segera berlari menghampiri mereka, bukan menolong tapi tertawa puas melihat badan Doni yang kotor dan Sugeng yang tidak sadarkan diri tergeletak di tanah.

"Tolongin atuh euy, Hans borokokok!" teriak babeh Taufik yang sedang sibuk menimba air di sumur. Babeh ini sebenarnya bisa saja berhenti menimba dan menolong mereka, tapi babeh lebih memilih untuk menimba air yang tidak berat dibanding mengangkat badan Sugeng dan Doni.

"Saya capek, beh. Capek ketawa." Hans memegangi perutnya sambil sesekali cekikikan melihat lagi Doni yang telungkupdan Sugeng yang terlentang di atas tanah yang becek.

"Jahat lo mah Hans. Tolongin buruan." Doni kemudian beranjak sambil menepuk lututnya yang sakit.

Doni lalu memegangi leher Sugeng, memeriksa denyut nadinya. Untunglah Sugeng masih bernafas, artinya dia masih hidup. Wajah Sugeng yang tampan, sangat tenang dan damai. Biasanya Sugeng selalu tersenyum dengan gigi-giginya yang putih. Sekarang Sugeng seperti sedang terlelap tidur dengan alis yang menekuk. Hans yang sudah selesai tertawa, jadi tertawa lagi saat melihat wajah Sugeng yang seperti itu.

"Buruan eh tolongin. Bukan ketawa terus ai kamu ya Hans." Doni akhirnya mengangkat tubuh Sugeng sendirian, lalu berjalan dengan hati-hati.

"Taruh aja we di ruang tengah Don. Terus kamu Hans, bawain air teh anget di dapur." Perintah babeh yang berhenti menimba air. Babeh lalu sekarang menggantikan tugas Doni dan Hans, yaitu mengaduk semen.

Tubuh Sugeng pun digeletakkan di atas karpet di ruang tengah. Doni merasa situasi ini mengerikan karena Sugeng seperti orang yang sudah meninggal, saking tenangnya. Hans pun berlari ke dapur untuk mengambilkan air teh hangat. Tapi di dapur, Hans malah menemukan gorengan dan cabai rawit di atas piring. Tangannya tidak bisa menolak untuk memindahkan gorengan itu dari piring ke dalam mulutnya. Sampai Sugeng akhirnya mulai terbangun karena suara Doni yang mulai sesenggukan menangis.

"Kenapa nangis mas?" tanya Sugeng pelan, melihat ke arah Doni.

"Mas Sugeng!" Doni berteriak histeris lalu memeluk Sugeng kencang.

"Ojo kenceng-kenceng toh mas. Sesak aku iki." Sugeng berusaha keras melepas pelukan Doni yang bisa saja meremukan badannya jika dibiarkan.

"Lagi pada ngapain lo?" Hans muncul dengan gorengan di tangan kirinya dan cabai rawit hijau di tangan kanannya.

"Hans lama pisan kamu teh ya. Mana air teh angetnya?" tanya Doni sambil menyeka air matanya.

"Oh, iya bener. Ambil aja sendiri di dapur ya mas Sugeng, tuh di sana." Hans menunjuk ke arah dapur. Lalu Sugeng pun membungkuk sopan, berjalan ke dapur untuk menyiapkan air teh hangatnya sendiri.

Kerja bakti di Minggu yang cerah ini berakhir dengan keringat babeh Taufik di sekujur kaos oblongnya yang bolong di bagian perut. Sepertinya perut buncit babeh menyusut karena terbakar semua. Sarung babeh pun jadi korban karena tersangkut paku saat memasang kayu. Rasanya babeh ingin marah tapi Sugeng dengan sigap mengipasi babeh dengan kipas yang biasa dia gunakan untuk membakar sate. Lalu Doni juga tampak memijat bahu babeh, dan Hans tampak sibuk membersihkan lumpur yang menempel di ujung celananya sendiri.

"Kalian teh bukannya bantuin babeh. Tapi ya udah lah, da udah selesai." Babeh tampak senang dengan pekerjaannya yang rapi, dan juga pelayanan dari Sugeng dan Doni yang memuaskan.

DaydreamerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang