4 - Dagang Sate

192 33 12
                                    

Sugeng langsung menyiapkan enam puluh tusuk sate ayam sambil tersenyum bahagia. Wajah Sugeng yang sangat cerah itu membuat para wanita yang sedang makan di belakangnya menjadi salah fokus. Belum lagi sesekali Sugeng mengelap keringat yang menetes di wajahnya dengan menggunakan lap tangan yang sudah kumal. Karena tukang sate itu adalah seorang Sugeng, para wanita malah meleleh tergila-gila melihatnya. Sampai mereka mulai mengantri di belakang Sugeng untuk meminta foto bareng. Ini tampak berlebihan tapi memang begitulah kenyataannya.

"Mas Sugeng, aku padamu, mas."

"Mas Sugeng hayu foto bareng neng."

"Aduh mas Sugeng kasep pisan (ganteng sekali) ih!"

"Kyaaa tusuk hati aku atuh mas Sugeng!"

Ayah Sugeng yang sudah biasa dengan situasi seperti ini saat di Madura dulu, langsung mengepakkan kipas sate ke wajah mereka. Para wanita itu pun merasa risih dengan kepakan angin dan asap dari pembakaran sate itu. Mereka kembali lagi ke mejanya karena masih ada sate di atas piring-piring mereka yang belum dimakan. Rugi jika mereka pergi tanpa menghabiskan sate Madura Mas Sugeng yang terkenal enak sekali itu.

Walau hanya di balik tenda kecil, gerobak seadanya, dan hanya dua buah meja panjang, tempat dagangan sate Sugeng ini selalu ramai pembeli. Orang-orang sampai rela menunggu di waiting list hanya untuk makan di tempat. Selain rasa satenya yang sangat enak, pesona Sugeng membuat orang-orang tidak tahan untuk bertemu atau sekedar bersalaman dengannya. Karena sangat ramai, Sugeng dan ayahnya berbagi tugas. Sugeng bertugas untuk membakar sate untuk pesanan yang diantar, sementara ayahnya bertugas membakar sate untuk yang dimakan di tempat.

Untuk pemesanan antar, Sugeng memiliki strategi pemasaran yang menarik. Pembeli akan mendapatkan selembar kupon dalam setiap pembelian dua puluh tusuk sate yang dimakan di tempat. Lalu setelah membeli selama dua minggu berturut-turut, pembeli dapat menukarnya dengan nomor ponsel milik Sugeng. Pembeli yang sudah mendapatkan nomor ponsel Sugeng biasanya tidak akan memberikan nomor itu secara cuma-cuma kepada orang lain. Karena perjuangan biaya dan waktu juga kesempatan emas untuk mengobrol dengan Sugeng melalui telepon itu sangat berharga.

"Pak, ta anter sate iki dulu yo. Ora opo-opo toh aku pergi sebentar?" Sugeng bersiap membungkus enam puluh tusuk sate yang dibagi ke dalam tiga bungkusan.

"Iyo wes ora opo-opo toh lek (Iya udah ga apa-apa nak). Ojo (jangan) kemaleman, Bapak pengen turu (tidur) wes (udah)ngantuk." Sugeng mencium tangan ayahnya sebelum pergi mengantar sate. Otomatis para wanita yang ada di sana berteriak histeris.

Dengan tatapan-tatapan terpesona sepanjang jalan dari ibu-ibu, akhirnya sampailah Sugeng di kosan babeh Taufik. Dia memencet bel yang ada di samping pintu kosan. Yogi yang selesai menonton acara kesayangannya, langsung turun saat mendengar suara bel itu. Kalau Hans ketiduran dengan perut lapar. Sementara Doni sedang bertapa di dalam kamar mandi karena sebelumnya dia sudah makan seblak di jalan.

"Sugeng wengi, kamar 2F di mana yo?" Sugeng menyebut namanya sendiri. Jangan tertawa, itu artinya selamat malam.

"Kamu teh siapa ya? Itu teh kamar saya." Tanya Yogi dengan wajah datar. Memang wajahnya selalu tampak datar karena matanya yang seperti garis lurus.

"Aku Sugeng. Ini tadi dek Doni pesan sate ayam enam puluh tusuk, minta diantar ke kamar 2F." Sugeng memberikan kantung plastik berisi sate yang aromanya membuat Yogi memejamkan mata.

"Eh, tadi kamu teh udah ngasih tau nama kamu ya? Maaf atuh saya teh lupa." Yogi salah mengira sugeng wengi dengan nama Sugeng itu sebenarnya beda. Lantas dia mengambil pesanan satenya.

DaydreamerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang