Bab 6 - PHO

73 4 2
                                    

Adelia berjalan di koridor bersama dengan sahabatnya, Aneila. Seluruh warga SMA Kencana baru saja menyelesaikan pelaksanaan upacara bendera, ya ini hari senin.

Pagi ini, matahari cukup terik sehingga menimbulkan bulir keringat pada para peserta saat upacara tadi.

Ditambah saat amanat pembina berlangsung, menjelaskan panjang lebar mengenai suatu hal yang setiap upacara selalu di jadikan bahan untuk pembina berbicara, sungguh membosankan bagi para murid. Toh, mereka tidak mendengarkan.

Adelia dan Aneila telah sampai dikelas. Mereka langsung menuju meja mereka untuk mengistirahatkan diri sejenak.

"Pak Toro emang bener-bener, gak kasihan banget sama kita. Lama banget amanatnya!" Aneila langsung mengeluh saat menduduki bangkunya.

"Bapak lu, tuh. Si butaks licin." seru Doni yang duduk tepat didepan Aneila.

"Anjay. Pantesan matahari berasa ada dua tadi." kekeh Aldo teman sebangku Doni.

"Sialan lu." Aneila menatap garang kedua temannya itu.

"Gue aduin ke dia, nyaho lo!" Adelia membuka suaranya setelah meneguk air minum yang ia beli di kantin tadi.

"Pengaduan lo, Del. Bye!" Doni menarik kerah baju Aldo, menuju keluar kelas. Mereka memang sering sekali membolos pelajaran, kalau tidak ke kantin, ya ke rooftop.

Adelia hanya mengangkat bahunya malas, sedangkan Aneila terkekeh.

Adelia mengingat sesuatu yang ingin ia sampaikan kepada Aneila, mengenai hal kemarin.

Saat Adelia hendak menceritakan, guru yang mengajar mereka masuk. Sehingga Adelia menghentikan aksinya untuk pamer kepada Aneila, sedangkan sahabatnya itu hanya mengangkat alis heran dan akan bersabar menunggu apa yang akan disampaikan Adelia.

"Tadi lo mau cerita apaan, Del?" tanya Aneila saat mereka sampai di kantin.

"Oh iya! Gue tadi mau cerita, ya? Karena Bu Ratna nih, gue kepotong mau cerita!" ucap Adelia.

Aneila mengangguk mengiyakan. Adelia mulai menceritakan kejadian kemarin. Ia menceritakan dengan antusias, terlihat sekali sampai orang-orang di kantin memperhatikannya.

"Serius Alvaro bilang gitu?" tanya Aneila tak percaya, ini kejadian yang sangat langka.

"Iya, Nei. Happy banget gue!" Adelia tersenyum lebar.

"Yah, wajar aja sih, kalian kan emang pacaran. Harusnya sih biasa aja." Aneila tersenyum geli.

"Ya tapi kan ini Alvaro. Beda, Nei."

"Iyain, biar seneng." kekeh Aneila.

Saat sedang asik menyantap makanan mereka, tiba-tiba ada suara yang menghentikan gerakan tangan Adelia.

"Pulang sekolah temuin gue di taman belakang. Ini tentang Alvaro." bisik orang itu tepat di telinga Adelia. Orang itu lalu pergi tanpa ingin mendengar jawaban Adelia.

"Dia bisikin lo? Emang lo kenal, Beatrice?" tanya Aneila.

Adelia menggeleng ragu. Ia masih bingung, apakah ia akan menemui Beatrice atau tidak.

"Kok, lo geleng? Kalau gak kenal, kenapa dia bisikin lo? Dia kan gak pernah mau bicara sama orang yang gak dia kenal." Aneila heran.

"Gue udah kenyang. Buruan makannya, bentar lagi bel." Adelia menjauhkan makanannya dari hadapannya. Selera makannya tiba-tiba hilang.

***

Seorang gadis dengan perawakan mungil, bermata biru, kulit putih dan rambut yang berwarna cokelat terang ini sedang menunggu seseorang datang.

"Langsung aja. Gue males basa-basi."

Gadis tersebut berbalik, tersenyum miring melihat orang yang ia tunggu datang.

"Oke. Mau sampai kapan, bertahan sama Alvaro?" tanya Beatrice.

Adelia menatap tajam kepada Beatrice.

"Sampai kapan, lo terus-terusan ngejar Alvaro?" bukannya menjawab, Adelia berbalik tanya.

Beatrice mendengus kasar, menatap sinis Adelia. "Sampai gue bener-bener dapetin Alvaro sepenuhnya, tanpa ada lo di sampingnya lagi."

"Gak malu, ngejar pacar orang lain? Beatrice yang gue tau, bukan cewek murah. Tapi ternyata gue salah." balas Adelia.

Beatrice menatap tak percaya mendengar perkataan Adelia. "Sialan lo, ya!" Beatrice mengangkat tangannya hendak memukul wajah Adelia, tetapi dengan gesit Adelia menahan.

"Tangan kotor lo, gak pantes nyentuh wajah gue."

Setelah mengatakan itu, Adelia langsung pergi meninggalkan Beatrice.

"Oke. Gue ikutin permainan lo, liat aja lo gak bakalan menang, Adelia. Ini sudah terlalu lama dan gue gak bakal diem."

***

"Lama banget, boker?" tanya Alvaro. Ia menunggu Adelia di parkiran, karena tadi Adelia bilang kebelet pipis.

"Jorok ih. Tadi toilet nya antri." bohong Adelia.

Alvaro mengangguk. Mereka masuk ke dalam mobil, lalu pergi meninggalkan sekolah.

Adelia enggan bercanda dengan Alvaro, mood nya buruk sekali hari ini. Baru saja kemarin rasanya ia terbang sekarang ia harus kembali pada kenyataan yang tidak mungkin berubah. Bisa saja berubah, tetapi hal yang satu ini sulit.

Selama diperjalanan mereka hanya diam. Sebenarnya Alavaro sedikit heran dengan sikap Adelia, hanya saja ia mencoba mengubur rasa penasarannya terhadap Adelia. Karena memang itu yang seharusnya ia lakukan, agar tidak terlalu jauh.

Rintik air berjatuhan di kaca mobil Alvaro, rupanya langit mewakilkan apa yang ingin Adelia keluarkan sedari tadi.

Adelia menatap kosong pada bulir-bulir air yang jatuh. Seakan mencoba mengeluh pada hujan. Seakan bercerita tentang perasaannya pada hujan.

Dari sebuah rintikan,
Terciptalah sebuah dialog hujan
Yang sering menyayat perasaan.

***
Bab 6 selesai, yey.

Jangan lupa vomment nya yaaa.
Biar nulisnya semangat.

(mulmed:Beatrice)

Rain Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang